Sejarah
lingkungan membicarakan saling pengaruh antara manusia dan lingkungan dalam
dimensi ruang dan waktu tertentu. Kehidupan manusia mempengaruhi lingkungannya
dan lingkungan yang berubah mempengaruhi kehidupan manusia secara berbeda dari
masa sebelumnya. Perubahan dan mekanisme interaksi timbal balik yang terjadia
antara manusia dan lingkunganya adalah obyek penelitian sejarah lingkungan.
Dengan demikian perilaku manusia terhadap alam yang diungkapkan melalui
kepercayaan, norma-norma, nilai-nilai yang berkaitan dengan lingkungan dan
bagaimana nilai itu berubah dalam lintasan waktu adalah merupakan topik
penelitian sejarah ekologi/ lingkungan (Warto, 2009: 12)
Pada
pendekatan posibilis,
lingkungan itu tidak dipandang sebagai pembatasan atau penyeleksi.
Faktor-faktor geografis itu tidak memberi bentuk pada kebudayaan manusia- suatu
gejala yang sepenuhnya historis,
bahkan superorganis- tetapi hanya
menerapkan batas-batas bagi bentuk yang mungkin terjadi di suatu tempat pada
suatu waktu(Clifford Geertz, 1976: 2). Seperti yang dikatakan para ahli antropogeografi
kepada tokoh-tokoh posibilisme,
faktor-faktor geografi itu sering kali nampak memainakn peranan yang dinamis
didalam perkembangan budaya manusia, bukan peranan yang pasif saja. Sebaliknya
hampir semua praktek kebudayaan yang spesifik tidak dapat dengan logis
dikembalikan secara langsung pada keadaan alam dari habitat suatu wilayah itu
semata-mata
Pendekatan
ekologis berusaha mencapai spesifikasi yang lebih tepat mengenai hubungan
antara kegiatan manusia dan proses alam tertentu dengan memasukkan semua ke
dalam satu sistem analisa, yakni ekosistem. Di dalam ekologi pada umumnya,
ekosistem itu terdiri dari komunitas biota dan organisme-organisme yang saling
berhubungan berikut dengan habitat mereka, sedangkan ukuran ruang lingkup dan
keawetanya boleh jadi sangat beraneka ragam. Jadi dalam konsep ekosistem itu
menekankan kesalingtergantungan yang sangat penting antara kelompok organisme
yang merupakan suatu komunitas dengan keadaan alam yang bersangkutan dimana
organisme-organisme itu hidup.
Setiap
aksi yang berasal dari lingkungan di luar manusia akan menimbulkan suatu
readaptasi dari dalam diri manusia yang disebut dengan internal environment. Suatu organisme karenanya menciptakan di
dalam dirinya suatu sebab musabab modifikasi yang bersifat konstan, yang
memberikan cukup keluwesan untuk beradaptasi secara berkesinambungan terhadap
lingkungan hidupnya (N. Daldjoeni, 1995: 27-28). Dengan demikian dapatlah
dikatakan bahwa disamping adanya pengaruh lingkungan yang sifatnya formatif,
terdapat pula penyesuaian diri pada organisme. Dengan kalimat lain ada
interaksi di dalam kompleks organisme lingkungan. Memang seluruh sejarah kehidupan
ini tidka lain daripada suatu adaptasi yang aktif belaka. Meskipun secara
teoritis dikatakan bahwa ras manusia itu produk belaka dari lingkungan, akan
tetapi sebenarnya ras adalah suatu produk yang bersifat ante-historic. Harus diakui bahwa lingkungan memberikan bekasnya
kepada manusia secara jasmaniah dan secara rohaniah.
Dalam
perkembangan sejarah manusia ada tiga prinsip yang ada yaitu; Pertama, bahwa
peradaban itu merupakan hasil dari beberapa kekuatan evolituf. Kedua, kekuatan tersebut dalam bekerjanya didorong oleh
tiga faktor yaitu keturunan, lingkungan alam, dan transmisi (penerusan) kebudayaan. Ketiga, masing-masing faktor tadi
berinteraksi dan pengatahuan mengenai hal itu merupakan syarat untuk mengerti
sejarah. Jika ketiga faktor itu serba menguntungkan maka peradaban akan pesat
majunya, sebaliknya jika tidak menguntungkan maka akan terjadi kemunduran(N.
Daldjoeni, 1995: 35). Mengenai proses evolusi dari peradaban sendiri ada dua
prinsip azasi. Pertama, perubahan pada lingkungan alam mendorong kemajuan;
manusia dipaksa untuk pindah ke tempat lain yang menawarkan tantangan dan
tawaran baru. Kedua, jika muncul kehidupan yang baru, ini sebenarnya tidak
seratus persen baru, adaptasi terhadap tantangan baru, pasti mebutuhkan
pengalaman dari mas alampau atau generasi yang terdahulu. Dalam proses tersebut
sudah terselip pemadatan penduduk dan penguasaan manusia atas aneka tanaman dan
binatang.
Dalam
perkembanag suatu peradaban selalu ditemukan proses seleksi. Dalam hal itu
bertalian eratlah kesalingtergantungan antara faktor lingkungan alam, budaya
dan kepadatan penduduk. Biasanya sebagai akibat dari suatu migrasi terjadi isolasi,
baik yang bersifat geografis maupun sosial. Sejarah mengenai berbagai bentuk
migrasi sebagai akibat dari peperangan, penemuan teknik, transportasi baru atau
ancaman lain yang memaksa suatu kelompok untuk menyingkir ke daerah lain yang
lebih aman. Perencanaan sosialpun dapat memancarkan pendudukke wilayah lain,
yang berbeda alamnya dan tantangan sosialnya. Jika dipelajari persebaran
peradaban manusia secara geografis maka akan nyata bahwa iklim merupakan latar belakang
yang penting bagi migrasi; disamping itu masih ada dua lagi, yaitu pangan dan
kepadatan penduduk. Seluk beluk jasmani dan rohani manusia sebagai akibat
keturunan juga banyak dipengaruhi oleh kondisi iklim. Makanan serta gizi sangat
menentukan potensi intelek generasi yang bersangkutan. Akhirnya dapat
disimpulkan bahwa tingkat kemajuan dan peradaban umat manusia itu ditentukan
oleh tiga hal: pertama, kualitas penduduk yang tergantung pada proses seleksi
dari masa lampaunya. Kedua, kondisi geografis sejauh mempunyai relasi dengan
tiap tahap perkembangan peradaban. Ketiga, kesehatan serta semangat manusia di
dalam mengembangkan serta melatih kapasitas rohani dari kemajuan budayanya (N.
Daldjoeni, 1995: 35-36).
Apabila
kita hendak menyederhanakan yang menyangkut masalah ekologis dari komunitas manusia,
dapat dikatakan adalah hasil dari
sekurang-kurangnya tujuh faktor yang saling berinteraksi, yaitu; (1)
kependudukan, (2) daerah/tempat tinggal manusia menjalani ekhidupan, (3)
artifak-artifak yang mereka miliki/ hasilkan (kebudayaan teknologis), (4)
kebudayaan rohaniah (adat istiadat dan kepercayaan), (5) bahan-bahan keperluan
hidup yang tersedia untuk melanjutkan kehidupan, (6) bagaimana sumber daya alam
diperlakukan, (7) bagaimana pembagian kerja dalam masyarakat berfungsi
(diperlakukan) (A.Mattulada, 1994: 14). Ekologi manusia diarahkan pada
pengkajian terhadap manusia didalam hubunganya dengan kondisi lingkungan,
cuaca, air, lahan, sumber daya alam, atmosfir dan terhadap tetumbuhan dan
jenis-jenis hewan, juga dalam interaksinya dengan masyarakat dan kebudayaan terntentu
diatas planet bumi ini.
Ekologi
tetumbuhn dan hewan mulai dikembangkan sebagai dua disiplin yang terpisah dalam
tahun 1870-an. Sedangkan human ecology (ekologi manusia) hanya sedikit
dilakukan secara sistematik. Baru sekitar tahun 1920, Robert E. Park, profesor
sosiologi Universitas Chicago, menaruh perhatian besar dalam implikasi dari
ekologi tetumbuhan dan hewan dalam pengkajianya terhadap komunitas manusia
terutama yang hidup di kota-kota. Park menggunakan lebih berat konsep para ahli
ekologi tumbuhan dan hewan dalam formulasinya dalam ekologi manusia. Dalam
tahun 1920-an, park dengan para mahasiswanya dalam sosiologi mengembangkan apa
yang kita kenal dengan “The Chicago
School of Human Ecology”(A.Mattulada, 1994: 16).
Lingkungan
manusia didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berada di sekeliling manusia
yang berpengaruh kepada kehidupan manusia itu sendiri. Menurut
Rambo (dalam Johan Iskandar, 2001: 8),
faktor-faktor sistem biofisik atau ekosistem di sekitar manusia sangat beragam
tergantung pada dimana manusia tinggal, termasuk didalamnya iklim, udara, air,
tanah, tanaman, dan binatang. Jadi kehidupan manusia sehari-hari tidak pernah
lepas dari lingkunganya. Dalam kehidupan manusia senantiasa terjadi interaksi
timbal balik sistem sosial yang dipengaruhi latar belakang budaya dan sistem
biofisik atau ekosistem. Hubungan timbal balik yang erat antara dua subsistem
itu dapat berjalan dengan baik dan teratur karena adanya arus energi, materi,
dan informasi, misalnya energi yang diperlukan untuk melakukan kerja.
Dapat
disimpulkan bahwa aspek latar belakang sosial ekonomi budaya manusia dalam
memperlakukan lingkungan alam sekitarnya. Dengan kata lain, manusia dianggap
sebagai pengontrol ekosistemnya. Sebaliknya, karena pengaruh lingkungan
biofisik sekitarnya, manusia harus melakukan penyesuaian diri terhadap sifat
lingkungan sekitarnya untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Hubungan sistem
sosial dan biofisik tersebut sangat dinamis setiap waktu. Inilah yang
mempengaruhi jalanya suatu peristiwa sejarah dalam ruang dan waktu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar