Sultan
Agung atau Raden Mas Rangsang atau Raden Jatmika naik tahta pada tahun 1613
dalam usia 20 tahun menggantikan kakaknya, Adipati Martapura, yang hanya
menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas
Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap
sebagai Sultan ke-tiga karena kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat
hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya,
Ratu Tulungayu.
Dalam
sejarah, Sultan Agung adalah raja terbesar Mataram yang mempunyai wilayah
kekuasaan yang sangat luas, antara lain meliputi seluruh wilayah pantai utara
yang membntang dari Karawang, di sebelah barat sampai Pasuruhan di sebelah
timur. Ditambah dengan Mancanegara meliputi Priangan Timur, Banyumas, Madiun,
Jipan (sebalah barat daya Surabaya), Jipang (sebelah tenggara Rembang), dan
Grobogan. Untuk mempertahankan kekuasaan kerajaan Mataram atas wilayah yang
telah ditaklukkan, Sultan Agung mewajibkan penguasa-penguasa daerah (para
Adipati) untuk tinggal di kompleks kraton beberap bulan dalam setahun. Kalau
penguasa daerah pulang, ia wajib untuk meninggalkan salah seorang anggota keluarga
dekatnya sebagai “sandera” di kraton (Dannys Lombard, 1996: 36).
Pemerintahan
Sultan Agung yang lamanya 32 tahun itu (1613-1645) berdasarkan gerak
strateginya dapat dibagi atas dua bagian yang sama panjangnya, yakni 16 tahun
gerak ke arah timur dan 16 tahun ke arah barat. Adapun perincianya sebagai
berikut:
·
1613-1625: penaklukan terhadap
daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kemudian diakhiri dengan
menyerahnya Kota Surabaya pada 1 Mei 1625
·
1626-1636: serbuan-serbuan ke arah barat
untuk menghncurkan kota Batavia, fase ini berkulminasi pada 1628 dan 1629, dan
berakhir dengan politik damai dari Gubernur Jenderal Van Diemen (1636)
·
1637-1641: gerakan militer ke Jawa
Timur. Fase ini berpuncak pada tahun 1639 dengan menyerahnya Blambangan dan
berakhir dengan ancaman dari fihak Belanda kepada Mataram, setelah Malaka
direbut oleh Belanda dari tangan bangsa Portugis (1641)
·
1641-1645: gerakan ke arah barat berupa
pembentukan kubu-kubu kuat di Jawa Barat dengan mendirikan koloni-koloni pertahanan
di Sumedang dan Ukur, juga membuka daerah transmigrasi di daerah Krawang.
Sultan
Agung mulai memerintah Mataram tahun 1613. Pada waktu itu Indonesia tidak
merupakan kesatuan, tetapi terpecah-pecah atas beberapa daerah yang
masing-masing berdiri sendiri, malahan saling bertentangan. Di pulau Jawa saja
ada beberapa kerajaan, yaitu Mataram, Banten, Cirebon, Surabaya, dan Giri.
Sultan Agung bercita-cita untuk mempersatukan Nusantara dan menguasai
perdagangan internasional di Asia Tenggara. Sebagai langkah pertama ke arah
tujuan tersebut, lebih dulu ia harus mempersatukan Jawa dan Madura. Oleh sebab
itu secara berturut-turut ditaklukkan Wirosobo pada tahun 1615, Lasem tahun
1615, Pasuruhan tahun 1616, Gresik tahun 1618 dan 1622, Tuban tahun 1619,
Sukadana di Kalimantan tahun 1622, dan
Surabaya tahun 1625. Kemudian itu juga usaha penaklukan Blambangan pada tahun
1635, malahan juga bermaksud menaklukkan Bali pada tahun 1639 tetapi tidak
berhasil. Sementara itu Sultan Agung juga harus memadamkan pemberontakan Pati
tahun 1627 (Proyek penelitian dan pencatatan kebudayaan daerah departemen pendidikan
dan kebudayaan, 1977:81). Peperangan yang terus menerus dilakukan oleh Mataram
itu mengakibatkan nasib yang menyedihkan bagi perdagangan di laut Jawa.
Kota-kota pantai yang tidak mau tunduk kepada Mataram dihancurkan, sehingga
banyak Saudagar pantai Utara Jawa yang pindah ke Makassar dan Banjarmasin. Hal
tersebut berarti matinya perdagangan, termasuk perdagangan rempah-rempah yang
melalui laut Jawa.
Selanjutnya,
supaya dapat menguasai seluruh Jawa, Sultan Agung harus bergerak ke arah barat,
sebab disitu ada kekuatan-kekuatan yang menjadi penghalang bagi tercapainya
cita-cita persatuan, yaitu kesultanan Banten dan orang-orang Belanda di
Batavia. Sebenarnya kesultanan Banten juga bermusuhan dengan orang-orang
Belanda di Batavia, tetapi karena takut pada ancaman dari Mataram, untuk
sementara Banten membiarkan saja Batavia. Sementara itu karena Banten menolak
ajakan Mataram untuk memukul Batavia secara bersama-sama, hubungan antara Mataram
dan Batavia menjadi tegang, akhirya malah berubah menjadi perang secara
terbuka. Pada tahun 1628 Batavia diserang oleh tentara Mataram, tetapi Batavia
yang dipimpin oleh J.P Coen dapat mempertahankan diri. Pada tahun 1629 Batavia
mendapat serbuan keduakalinya dari Mataram. Meskipun Belanda masih dapat
memtahankan diri, tetapi konon karena serbuan tersebut J.P Coen mati tertembak
(Proyek penelitian dan pencatatan kebudayaan daerah departemen pendidikan dan
kebudayaan, 1977: 82).
Adanya
gerak ke arah barat dan ke arah timur di dalam strategi Sultan Agung itu
disebabkan oleh empat faktor:
1.
Lokasi pusat pemerintahan Mataram ada di
Jawa Tengah bagian selatan. Wilayah Mataram dalam arti sempit, yakni induk
negara Mataram yang terapit oleh kali Progo dan Opak (sekarang kabupaten Sleman
dan Bantul) dan dua benteng alam yang berupa gunung Merapi di sebelh utara dan
segara kidul yakni Samudera Hindia, telah membuktikan fungsi strategisnya dalm
menghadapi Pajang pada masa berdirinya di akhir abad ke-16. Perlu diperhitungkan
pula adanya dua pegunungan kapur yang mengapit dua sungai tersebut diatas,
yakni Gunung Kidul dan Menoreh (di Kulon Progo)
2.
Potensi-potensi yang merongrong usaha
penyatuanpulau bercokol di ujung barat (Banten dan Batavia) dan diujung timur
yaitu Blambangan dan Surabaya.
3.
Gerak ofensif ke satu arah harus
memperhitungkan adanya keamanan dari arah yang lain. Jika tak mungkin,
dilakukan gerak dua arah secara serentak
4.
Setiap gerak dikontrol oleh situasi
musim dan aktivitas pertanian karena Mataram itu suatu negeri agraris (N.Daldjoeni,
1992: 172).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar