Sebagaimana diketahui, era
Perang Dingin yang berlangsung sejak 1946, telah berakhir pada 1989, menyusul runtuhnya
Uni Soviet tahun
1990 dan berakhirnya pertentangan Kapitalisme–Sosialisme, yang diikuti dengan lepasnya
wilayah-wilayah negara bekas Uni Sovyet seperti Azerbaijan, Kirgistan,
Turkmenistan, dan Uzbekistan. Francis Fukuyama, pemikir Amerika keturunan
Jepang, menanggapi peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai Babak Akhir Sejarah
(The End of History). Menurutnya,
benturan antara Kapitalisme dan Sosialisme berakhir, dan dunia akan terpola
pada semata-mata sistem demokrasi liberal dengan Amerika Serikat sebagai
kaptennya. Era ini diproklamirkan oleh George Bush sebagai The New World Order (Tata Dunia Baru) dengan Amerika sebagai single player dan negara lain sebagai buffer-nya.
Tapi pendapat
diatas sebenarnya masih perlu dipertegas lagi. Bahwa yang namanya sebuah
idiologi tidak akan pernah bisa dihapuskan dengan diruntuhkanya sebuah negara
atau dibunuhnya penganut sebuah idiologi. Idiologi atau pemahaman akan tetap
ada sampai kapanpun. Meskipun negaranya sudah tidak ada dan pengemban idiologi
sudah mati tapi ajaran dan nilai-nilai sebuah idiologi sejatinya tetap ada.
Sehingga dari sini kita tahu bahwa The
End of History tidak akan pernah terjadi.
Seiring dengan
terpolarisasinya berbagai negara ke dalam jaringan sistem Kapitalisme global,
muncul sebuah analisis futuristik dari Samuel P. Huntington tentang masa depan
pola hubungan internasional yang menunjukkan kecenderungan antagonistik dan
diwarnai konflik. Secara lebih tegas dia mengatakan, konflik itu semakin
meningkat antara Islam dan masyarakat-masyarakat Asia di satu pihak dan Barat
di pihak lain. Lebih jauh lagi, Huntington memprediksikan, tantangan paling
serius bagi hegemoni Amerika pada masa mendatang adalah revivalisme Islam dan
peradaban Cina (Konfusianis).
Dengan sudut pandang
berbeda, Samuel Huntington menyebutkan bahwa faktor benturan peradaban
(The Clash Of Civilization) merupakan
unsur terpenting dalam pembentukan teori-teori pola hubungan internasional dan
model hubungan tata dunia baru setelah runtuhnya Uni Soviet. Dalam bukunya, The Clash of Civilizations and The Remaking
of World Order (1996: 14), Huntington menulis bahwa “The central and most dangerous dimension on the emerging global
politics would be conflict between groups from differing civilizations”.
Kini perseteruan antara
Islam dan Barat semakin meruncing setelah terjadi Tragedi WTC 11 September
2001. Kasus ini telah berhasil dieksploitasi sedemikian rupa oleh AS dan
sebagai jalan bagi pemberlakuan UU antiteroris di seluruh dunia. Terorisme yang
dimaksudkan oleh Amerika adalah Islam dan tidak ada pengertian lain. Ada permainan stigma Barat
untuk membatasi pandangan dan realita
sehingga ketika kata-kata teroris, fundamentalis, ekstremis,
dan kelompok radikal diucapkan maka konotasinya tidak jauh dari negara-negara
Timur Tengah yang notabene adalah negeri-negeri Islam.
Runtuhnya Uni Soviet
menjadi babak akhir dari Perang Dingin (Cold
War) yang telah dimulai semenjak tahun 1989-1991. Hal ini memunculkan pemahaman
yang luas tentang teori hubungan internasional. Selama periode perang dingin,
sebagian besar teori hubungan internasional didasarkan pada persaingan utama
antara Amerika Serikat dengan idiologi Kapitalisme dan Uni Soviet dengan
idiologi Komunisme. Akan tetapi, era pasca Perang Dingin, terdapat kecenderungan-kecenderungan
baru yang harus diperhitungkan dalam penataan dunia baru. Sebagian pakar
politik menganggap faktor kepentingan ekonomi akan menjadi asas utama dalam
perumusan pola hubungan internasional.
Berakhirnya
perang dingin antara peradaban Kapitalisme dan Sosialisme/ Komunisme diatas, banyak yang berpendapat
bahwa dengan tingginya tingkat konsentrasi perbedaan antara peradaban Barat dan
Islam sebagai dua
peradaban yang dominan saat ini. Maka benturan yang paling besar itu akan terjadi antara Barat
dan Islam, dan apa yang dituliskan oleh Francis Fukuyama masih belum terbukti.
Sebagaimana
dikemukakan oleh Bryan S Turner (2006: 39) “Pengaruh jatuhnya komunisme dan
lahirnya postmodernisme baik secara sosial dan kultural tidak diragukan lagi.
Semenjak runtuhnya komunisme tidak ada lagi kekuatan politik atau alternatif
lain yang signifikan selain Sosialisme dalam berhadapan dengan Barat. Namun
jurang dalam sistem dunia ini akan diisi oleh Islam maupun postmodenisme”.
Meksipun ada juga yang berpendapat
bahwa juga akan muncul perlawanan dari peradaban lain di dunia ini yakni dari
India, Cina dan juga Jepang yang masing-maisng memiliki sejarah peradaban masa lalu yang cukup tua. Tapi
kalau kita melihat realitas sekarang maka sebenarnya yang akan muncul adalah
perang antar idiologi, bukan semata perang antar peradaban. Karena nyatanya
kondisi sekarang bahwa perang yang muncul adalah perang antar idiologi. Kalaupun ada pertentangan antara Barat (AS)
dengan Cina, India atapun Jepang lebih dominan perang dalam bidang perekonomian
saja, sementara dalam bidang budaya, politik, pendidikan, memiliki pemahaman
yang sama antara Barat dengan 3 peradaban tadi.
Mengapa bisa dikatakan
seperti itu, karena pada prinsipnya dalam bidang budaya dan pemahaman hidup di 3 peradaban
itu memiliki
persamaan dengan
Barat. Katakanlah kalau Cina dalam bidang politiknya lebih dikenal dengan model
Sosialisme, tapi di sisi lain dalam bidang ekonomi juga sama-sama menggunakan
model kapitalisme. Agak berbeda mungkin dengan India dan Jepang yang memng
secara politik dan ekonomi juga mirip dengan peradaban Barat, meskipun mereka
sebenarnya memiliki jejak sejarah peradaban yang besar. Tapi kalau dilihat
lebih jeli lagi dalam bidang budaya ataupun pandangan hidup memiliki kesamaan dengan
Barat. Mungkin di India terkenal dengan agama Hindunya ataupun Jepang dengan
agama Shintonya, tapi disini tidak nampak pertentangan yang ada. Dan memang
semata-mata pertentangan antar Idiologi bukan semata pertentangan agama saja,
bukan hanya antara Islam dengan Kristen atau Yahudi. Tapi memiliki dimensi yang
lebih luas. Selain itu juga tidak nampak pertentangan dari idiologi Barat dengan
idiologi yang ada di India atau Jepang (karena di kedua peradaban tadi tidaka
ada idiologi yang nampak).
Akhirnya dari sinilah kita
bisa memahami bahwa Islam sendiri selain sebagai agama ritual sebagaimana agama
Kristen ataupun Hindu-Budah juga sebagai sebuah idiologi yang berasal dari peradaban
Islam. Karena disebut sebagai idiologi sehingga bisa juga desandingkan dengan idiologi lain,
yakni Kapitalisme dan Sosialisme/ Komunisme. Karena dalam Islampun diakui atau
tidak (karena saat ini tidak ada institusi yang menaunginya) memiliki tata
aturan yang komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Ada sistem politik,
ekonomi, pendidikan, budaya, hukum dan lain-lain yang bersumber dari Islam.
Islam sebagai idiologi bisa disandingkan dengan idiologi Kapitalisme dan juga
Sosialisme/ Komunisme yang juga sama-sama memiliki pemahaman tentang sistem
politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan lain-lain. Tapi masalahnya memang saat
ini tidak ada institusi Islam (negara) yang menaunginya. Dari semua hal
diatas itu yang membedakan Islam dengan agama yang lain.
Salah satu imbas dari keruntuhan dan juga adanya
benturan peradaban tersebut adalah adanya penetrasi dari Barat kepada
Indonesia. Tapi kalau lebih jeli dilihat sebenarnya pengaruh invasi budaya atau
peradaban Barat terhadap Indonesia ini sudah ada sejak adanya imperialisme yang
dilakukan oleh Barat. Dalam hal ini diwakili oleh negara Belanda, Portugis dan
Inggris sejak abad ke-VII. Akibatnya masih kita rasakan sampai saat ini, baik
dalam bidang budaya, ekonomi, politik, pendidikan,
hukum dan lainya kebanyakan dipengaruhi oleh Barat.
Meskipun di Indonesia sendiri sudah memilki budaya dasar dan juga adanya
akulturasi budaya Hindu-Budha dan Islam yang lebih dahulu datang ke Indonesia
daripada budaya Barat. Pada akhirnya sampai saat ini kebanyakan tata aturan dan
juga perundangan kita masih banyak berkiblat ke Barat. Sementara di sisi lain
mayoritas penduduk negeri ini sebenarnya sudah memiliki pemahaman peradaban, yakni Islam. Tapi karena kuatnya dominasi dari
peradaban Barat terhadap Indonesia, peradaban atau idiologi Islam kalah
bersaing. Disamping ini sebenarnya juga memiliki faktor internal maupun
eksternal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar