Serangan budaya
barat kepada Islam tidak bisa dilepaskan dai sejarah Perang Salib dan juga
perkembangan pemikiran di Eropa. Begitu juga dengan adanya Renaisance dan
Reformasi gereja. Baik Renaisance maupun Reformasi gereja merupakan gerakan
yang berakar dalam Zaman Tengah. Reormasi bertujuan untuk menyehatkan kembali
kepercayaan yang benar, dengan meneliti kembali kitab Injil. Sementara
Renaisance bertujuan untuk menghidupkan kembali kebudayaan Romawi dan Yunani,
supaya orang-oang Eropa dapat mencerminkan diri pada kehidupan itu dan
meletakkan ideal-ideal kebudayaan Yunani-Romawi sebagai tujuan hidup manusia
Eropa sejati.
Selain itu ada pula
revolusi Ilmu pengetahuan yang terjadi antara 1500-1700 dengan
konseptualisasi-konseptualisasi Copernicus, Keppler, dan Galileo sebagai dasar Eropa modern. Ia
mengajar orang Eropa untuk merombk cara berfikirnya dan membawa suatu perubahan
yang mendasar dalam hal penggambaran manusia Eropa tentang alam semesta.
Sebelumnya orang Eropa memendang alam semesta sebagai sesuatu yang digerakkan
dari waktu ke waktu oleh suatu keajaiban, yang senantiasa berbeda sifatnya.
Revolusi ilmu pengetahuan mengubah pandangan ini dengan mengetengahkan bahwa
setiap kejadian di alam semesta terjadi sesuai dengan suatu hukum dengan
keteraturan. Empat revolusi lainya yang turut membuka pada masa modern Eropa
adalah: Revolusi Industri, Revolusi Prancis, Revolusi Filsafat diprakarsai
Imanuel Kant dan Revolusi Romantik. Revolusi Industri merupakan peralihan dari
dominasi modal komersial atas modal industrial ke dominasi modal industrial
atas modal komersial yang kemudian memunculkan Imperialisme Eropa ke berbagai
negara. Revolusi Prancis merupakan revolusi yang memperjuangkan kedaulatan
rakyat, penentuan nasib dan persamaan hak serta Rasionalisme di Prancis yang
kemudian mneyebar di Eropa. Revolusi Filsafat Kant mengumandangkan bahwa otak
manusia mengandung prinsip-prinsip organisatoris yang memaksakan keteraturan
atas pengalaman. Revolusi Romantik merupakan reaksi terhadap rasionalisme,
materialisme mekanik, klasisme, terhadap semua unsur yang dominan dari
Aufklarung, terhadap universalisme dan formalisme. Yang dipaksakan aliran itu.
Yang kemudian nampak dalam perbedan antara Eropa Barat dan Eropa Tengah (C.P.F
Luhulima, 1992: 25).
Superioritas geopolitik
Barat telah membelah dunia menjadi dua bagian, yaitu The West dan The Rest (Barat dan bukan Barat).
Mereka menyadari bahwa Barat telah memiliki metode kehidupan yang khas yang berbeda
dengan metode kehidupan selain mereka. Bangsa-bangsa yang mengambil metode
Barat sebagai landasan kehidupannya akan dimasukkan sebagai bagian dari
komunitas mereka, sedangkan yang menolak akan disebut sebagai The Rest. Jadi, istilah Barat tidak
selalu mengacu pada posisi letak geografis di bumi, tetapi lebih mengacu pada
sistem dan metode kehidupan yang dipakai, yaitu ideologi. Sehingga bisa
saja kemudian negara di Asia yang notabene bukan di wilayah Barat tapi memiliki
idiologi Barat. Sebagai contoh adalah Australia, Cina, Jepang dan lain-lain,
sebagaimana dijabarkan diatas.
Jerat-jerat pemikiran dan
budaya yang ditebar Barat sudah mengalami modifikasi yang jauh lebih efektif
dan membahayakan. Pesan-pesannya kental sekali dengan makna perjuangan Kapitalisme
yang mengusung nilai Sekularisme. Sebab, Sekularisme merupakan dasar bagi semua
penyelesaian yang ditetapkan oleh Kapitalisme, sekaligus sebagai asas bagi
setiap pemikiran yang dicetuskannya.
Sekularisme merupakan
ideologi yang melandasi budaya Barat. Kelahiran ideologi
ini bermula pada saat kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia menjadikan agama
sebagai alat untuk memeras, menganiaya, dan menghisap darah rakyat. Para pemuka
agama dijadikan sebagai perisai untuk mencapai keinginan mereka. Lalu timbullah
pergolakan sengit yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan
cendekiawan. Sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak (ateis); sebagian lainnya mengakui adanya agama, tetapi
menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan, khususnya dalam mengatur negara.
Berdasarkan ini, Barat kemudian menjadikan sekularisme, yaitu pemisahan agama
dari kehidupan, sebagai ideologi mereka.
Paradigma Sekularisme yang
lahir dari sebuah proses kompromi telah memberikan suatu anggapan bahwa manusia
adalah tuan bagi dirinya sendiri. Agar manusia dapat menjadi tuan bagi dirinya
sendiri, manusia, menurut paradigma Sekularisme, harus dijauhkan dari segala
pengawasan pihak lain (agama/Tuhan). Hal ini tidak akan bisa terealisasi
kecuali jika manusia diberikan kebebasan dan dilepaskan dari segala ikatan.
Dari sini, lahirlah kemudian ide kebebasan (Liberalisme) yang selanjutnya
menjadi sesuatu yang inheren dalam
ideologi Kapitalisme. Dari ide kebebasan ini, pada gilirannya, lahirlah konsep Demokrasi;
sebuah konsep yang menghendaki manusia steril
dari intervensi pengaturan pihak lain (agama/ Tuhan), sekaligus menghendaki agar
manusia diberikan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri.
Kaum sekularis selalu
menganggap bahwa kebahagiaan manusia terletak pada keberhasilannya memperoleh
sebanyak mungkin kesenangan dan kelezatan duniawi. Wajar jika kemudian
kemaslahatan (azaz manfaat) merupakan tujuan utama dari setiap perbuatan yang dilakukannya. Karena
itu, muncullah kebiasaan buruk dalam
mengukur sebuah nilai kebahagiaan. Bagi mereka yang terhipnotis dengan paham
hedonisme, kenikmatan yang bersifat jasadi dan materi adalah tujuannya; mereka
memuja kesenangan duniawi semata. Saudara kembar hedonisme adalah
permissivisme. Budaya serba-boleh ini memang turunan dari sekularisme. Setiap
orang berhak untuk melakukan apapun yang disukainya; orang lain dilarang keras
untuk mengusik jalan hidupnya. Tentu saja ini berbahaya karena melemahkan daya
kontrol individu dan masyarakat. Inilah gambaran real sebuah negara sekular.
Dalam budaya Barat, agama hanya
berfungsi sebagai urusan individu dengan Tuhan, tidak bisa dimasukkan dalam
institusi negara untuk mengatur ruang publik dan sosial. Peran agama
dimarjinalkan dari sektor publik. Berdasarkan pemikiran Barat, hukum dan
perundang-undangan di tingkat negara diserahkan kepada wakil-wakil rakyat untuk
merumuskannya dengan cara mengadopsi kehendak mayoritas rakyat. Dengan begitu,
hukum dan undang-undang yang berlaku mencerminkan hasil kompromi dari berbagai
akumulasi keinginan dan kehendak rakyat. Sumber hukum publik dalam pandangan
pemikiran Barat adalah akal manusia, yaitu para anggota parlemen yang
mengkompromikan berbagai kehendak rakyat tersebut. Untuk mencapai tujuan itu,
digagaslah teori-teori tentang kebebasan sebagai perwujudan dari perlindungan
terhadap hak asasi manusia.
Negara akan menjamin
kebebasan berperilaku tersebut selama tidak mengganggu kepentingan publik.
Seorang wanita bisa melakukan pornografi ataupun pornoaksi selama hal itu tidak
merugikan publik, apalagi bisa menghibur. Negara juga menjamin kebebasan
berpendapat, yang salah satu wujudnya adalah penetapan hukum dan
perundang-undangan oleh parlemen berdasarkan pendapat mayoritas. Penetapan
hukum dengan mempertimbangkan agama (Islam)
akan dianggap sebagai sikap sektarian yang mengancam demokrasi dan hak asasi
manusia. Dan hal inilah yang sangat nampak dalam sistem perpolitikan dan
kenegaraan di Indonesia dimana sistem yang ada adalah berasal dari Barat.
Konsep dasar ideologi
Barat yang memisahkan agama dari kehidupan tersebut bertolak belakang dengan
ideologi Islam. Perbedaan inilah yang bisa menjadi alasan mengapa Islam dan
Barat akan mengalami benturan dalam membangun peradaban dunia. Wacana tentang
‘Islam Kultural’ yang dihembuskan oleh Barat sebenarnya ditujukan untuk
mengakhiri benturan itu dengan kemenangan di pihak Barat. Istilah kultural
dalam wacana ini sangat dekat dengan konsep kultural/budaya yang dikemukakan
oleh Geertz. Karena itu, apabila konsep Islam kultural diterima oleh umat
Muslim, akan terjadi pereduksian terhadap Islam. Islam hanya dipahami sebagai
agama ritual atau ibadah individual semata, bukan lagi secara kompehensif bahwa Islam juga mengatur masalah politik,
ekonomi, hukum dan lain lain.
Wacana tersebut pada
dasarnya merupakan konsep yang berusaha mendudukkan Islam hanya sebatas
persoalan di ruang privat (ibadah dan akhlak), tidak memasuki ruang publik
yaitu negara. Artinya, bahwa Islam tidak perlu dijadikan sebagai asas bagi
negara untuk mengatur wilayah publik. Jadi, secara umum, pemikiran Barat tidak
akan mengalami benturan dengan Islam kultural di atas. Benturan hanya akan
terjadi dengan Islam yang diposisikan sebagai ideologi umat Muslim, yaitu Islam
yang dijadikan sebagai asas hukum dan perundang-undangan dalam penataan
kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara (politik dalam negeri),
juga sebagai asas bagi pola hubungan dengan negara-negara dan bangsa-bangsa di
dunia (politik luar negeri).
Pada prinsipnya bukanlah mengkompromikan
pemikiran Islam dengan pemikiran Barat, karena memang dari asasnya sudah
berbeda. Perbedaan pada sisi asas ini, yaitu antara ideologi Islam dengan
ideologi Kapitalisme, akan menyebabkan perbedaan pada seluruh pemikiran
dan ajaran yang lahir dari ideologi tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar