Berbagai fakta di dunia
menunjukkan bahwa perumusan teori hubungan internasional memang tidak bisa
hanya didasarkan pada faktor ekonomi sebagaimana adanya Imperialisme/
Merkantilisme semata, tetapi juga menyangkut masalah budaya, agama, dan
ideologi. Oleh karena itu berkaitan dengan tema benturan dan pentrasi kebudayaan, diperlukan adanya
definisi dan pemahaman tentang budaya, peradaban, dan ideologi serta
keterkaitan antar ketiganya. Dengan begitu, titik-titik yang akan mengalami
benturan atau penetrasi akan mudah dibaca.
Terkait dengan
kebudayaan, Clifford
Geertz (1966: 89) mendefinisikan kebudayaan (culture)
sebagai sebuah pola makna-makna (a
pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang
dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan
mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Melaui simbol, ide,
dan adat-istiadat, Geertz menemukan pengaruh agama di setiap celah dan sudut
kehidupan masyarakat Jawa. Dalam bukunya tersebut, Geertz menyebutkan bahwa
agama merupakan satu sistem simbol yang bertujuan untuk menciptakan perasaan
dan motivasi yang kuat, mudah menyebar, dan tidak mudah hilang dalam diri
seseorang. Hal tersebut pada akhirnya akan menciptakan perasaan dan motivasi
yang terlihat sebagai suatu realitas yang unik. Analisis dan teori Geertz lebih
menekankan pada aspek pengaruh agama pada munculnya simbol-simbol (bentuk pakaian,
model rumah, jenis peralatan, dll) sebagai sebuah budaya.
Menurut Edward
B. Tylor (dalam Abdullah Fajar, 1991: 2) mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan
yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat kemampuan,
serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat.
Dalam Wikiipedia, budaya atau kebudayaan diartikan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah,
yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai
hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga
sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai
"kultur" dalam bahasa Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Definisi_Budaya diakses pada 6
mei 2012 pukul 08.00 WIB)
Menurut Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (2006: 25) Budaya adalah suatu pola
hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek
budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini
tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Dari beberap definisi diatas dapat diartikan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama
oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak
terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya
diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan
perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Menurut Caeter V
Good (dalam Abdullah Fajar, 1991: 1) peradaban harus dipahami sebagai keadaan kebudayaan.
Secara lengkap peradaban dapat diartikan sebagai keadaan kebudayaan dari suatu
kelompok sosial yang menggambarkan tingkat pencapaian tertentu dalam
bidang-bidang kesenian, industri, ilmu pengetahuan, pemerintahan, moral dan
wawasan pemikiran.
Sementara itu ada yang
mengartikan bahwa peradaban (hadharah) adalah sekumpulan konsep (mafahim) tentang kehidupan. Peradaban
bisa berupa peradaban spiritual ilahiyah (diniyah
ilahiyyah) atau peradaban buatan manusia (wadl’iyyah basyariyyah). Peradaban spiritual ilahiyah lahir dari
sebuah aqidah (dasar ideologi), seperti peradaban Islam yang lahir dari Aqidah
Islamiyah. Sedangkan peradaban buatan manusia bisa lahir dari sebuah aqidah,
seperti peradaban kapitalisme Barat, yang merupakan sekumpulan konsep tentang
kehidupan yang muncul dari aqidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan).
Peradaban buatan manusia bisa pula tidak lahir dari sebuah aqidah, semisal
peradaban Shinto, Yunani, Babilonia, dan Mesir Kuno. Peradaban-peradaban
tersebut sekedar merupakan sekumpulan konsep yang disepakati oleh satu atau beberapa bangsa. Jadi
peradaban ini adalah sebuah sebuah peradaban yang bersifat kebangsaan atau
buatan manusia (Hizbut Tahrir 2004: 7).
Menurut M. Husain Abdullah (2002: 149), peradaban (Inggris: civilization) dalam kosakata Arab
disebut hadhârah, sedangkan
kebudayaan (Inggris: culture) disebut
tsaqâfah. Hadhârah secara bahasa berasal dari al-hadhar (perkotaan) sebagai lawan dari kata al-badwu (pedalaman); yang dimaksud oleh kata tersebut adalah metode
kehidupan (tharîqah al-hayâh). Secara
istilah, hadhârah (peradaban) adalah
sekumpulan pemahaman atau persepsi tentang kehidupan (majmû‘ al-mafâhîm ‘an al-hayâh). Sedangkan tsaqâfah (budaya) adalah sekumpulan pengetahuan dan pemikiran yang
mempengaruhi akal dan sikap seseorang terhadap fakta (benda maupun perbuatan),
seperti masalah hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, sejarah, dan lain
sebagainya. Dengan demikian, tsaqâfah
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hadhârah, karena tsaqâfah merupakan pemikiran-pemikiran
yang menjelaskan sudut pandang dalam kehidupan. Pemikiran-pemikiran tersebut
nantinya akan menjadi sebuah mafâhîm
(persepsi) yang akan mengantarkan pada terciptanya sebuah peradaban.
Di kalangan Barat,
peradaban diistilahkan dengan civilization, di ambil dari kata civilis, yang
berarti memiliki kewarganegaraan. Istilah ini pertama kali digunakan dalam
bahasa Prancis dan Inggris pada akhir Abad XVIII untuk menggambarkan proses
progresif perkembangan manusia; sebuah gerakan yang menuntut perbaikan,
keteraturan serta penghapusan barbarisme dan kekejaman. Di balik pemunculan
pemahaman ini terletak spirit pencerahan Eropa -Renaissance- dan rasa percaya
diri terhadap karakter progresif era
modern.
Istilah ini kemudian
dipindahkan ke dalam bahasa Arab dengan menggunakan dua ungkapan, yaitu hadhârah dan madaniyah. Namun
demikian, penggunaan kedua istilah ini masih menimbulkan persoalan baru di
kalangan penggunanya. Oleh karena itu, An-Nabhani kemudian menspesifikasikan
penggunaan kedua istilah tersebut ke dalam bukunya Nizhâm al-Islâm.
Menurut An-Nabhani, hadhârah adalah sekumpulan persepsi (yang dimanifestsikan dalam
perilaku) tentang
kehidupan. Adapun madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan
dalam berbagai aspek kehidupan.
Dari kedua definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa peradaban adalah
sekumpulan konsep (mafahim) tentang
kehidupan yang menggambarkan tingkat pencapaian tertentu dalam bidang-bidang kesenian,
industri, ilmu pengetahuan, pemerintahan, moral dan wawasan pemikiran yang
dicapai oleh suatu bangsa atau masyarakt yang mendiami suatu wilayah tertentu.
Berdasarkan pemaparan di
atas, istilah peradaban dan budaya mengacu pada persoalan metode kehidupan
tertentu, yaitu suatu gaya hidup yang khas dalam kehidupan masyarakat. Jika
ditinjau lebih mendalam, gaya hidup yang khas ini haruslah lahir dari pandangan
hidup yang khas pula, yaitu ideologi. Menurut Taqiyuddin an-Nabhani (2006: 43), ideologi merupakan ‘aqîdah ‘aqliyyah (akidah yang lahir
melalui proses berpikir) yang melahirkan peraturan hidup secara menyeluruh.
Peraturan yang lahir dari akidah tersebut berfungsi untuk memecahkan dan
mengatasi berbagai problem kehidupan manusia. Jadi, yang dimaksud dengan tsaqâfah (budaya) Islam adalah
pemikiran-pemikiran tentang metode dan gaya hidup yang menyangkut seluruh aspek
kehidupan, seperti ekonomi, politik, sosial, tata negara, hukum, dan sebagainya
yang lahir dari ideologi Islam. Sebaliknya, tsaqâfah
Barat adalah pemikiran-pemikiran tentang metode hidup yang mencakup ekonomi,
politik, sosial, tatanegara, tata hukum, dan sebagainya yang lahir dari akidah
(ideologi) Barat, yaitu Kapitalisme-Sekularisme.
Selian itu
idiologi menurut A.S Hornby (dalam Faisal Ismail, 1999: 10) adalah seperangkat
gagasan yang membentuk landasan teori ekonomi dan politik atau yang dipegangi
oleh seseorang atau kelompok tertentu.
Idiologi politik
menjadi penggerak dinamis yang utama dalam kehidupan organisasi atau lembaga
politik serta dalam kehidupan politik suatu negara atau bangsa, karena idiologi
berfungsi menyatukan rakyat dalam organisasi politik untuk melakukan tindakan
politik secara efektif. Lebih dari itu tujuan idiologi adalah untuk
membangkitkan perasaan, mendorong munculnya tindakan, sedangkan kekuatan
idiologi terletak pada kapasitasnya dalam menangkap dan menggerakkan imajinasi
manusia serta melepaskan negeri-negeri manusia (Reo M Chridtenson dalam Faisal
Ismail, 1999: 11).
Muhammad Husein Abdullah
kemudian membagi madaniyah ke dalam dua kategori, yaitu:
1. Yang berhubungan dengan hadhârah,
yaitu yang lahir dari suatu sudut pandang tertentu. Misal, rumah tidak terlepas
dari hadhârah, karena seorang Muslim akan membangun rumah dengan model
yang dapat menjaga aurat penghuninya, sementara orang sosialis atau kapitalis
tidak akan memperhatikan hal-hal itu.
2. Yang tidak berhubungan
dengan hadhârah, yaitu hasil dari ilmu pengetahuan dan industri seperti
alat-alat laboratorim dan furniture. Semua ini ‘netral’ dan bersifat universal (Muhammad
Husain Abdullah,
2002:
150).
Walhasil, peradaban (hadhârah)
berkaitan dengan pandangan hidup (world view) atau yang oleh an-Nabhani
diistilahkan dengan mabda’ (ideologi), yang didefinisikan sebagai: akidah yang lahir dari proses berpikir yang
di atasnya dibangun system.
Dari sini dapat
ditarik kesimpulan baahwa idiologi adalah seperangkat gagasan dan pandangan
hidup dalam berbagai aspek kehidupan mansuia yang menjadi landasan manusia
untuk bertindak dan berperilaku yang terkait dengan nilai-nilai serta tatanan
hukum yang berkaitan denganya.
Benturan peradaban yang
dirumuskan oleh Samuel Huntington mencakup benturan pemikiran dan benturan tata nilai pemikiran-pemikiran antara tata nilai Islam dengan
pemikiran-pemikiran dan tata nilai Barat. Nilai-nilai itulah yang akan
mempengaruhi pola penataan masyarakat di dunia, termasuk penataan hubungan
antarnegara dan antarbangsa di dunia internasional. Dan hal ini pulalah yang
mendasari adanya penetrasi peradaban Barat terhadap Indonesia sebagai salah
satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (yang seharusnya memiliki
pemahaman yang lengkap tentang peradaban dan idiologi Islam).
Maka akan semakin
nampaklah bahwa pertantangan atau clash
civilizatioan antar peradaban adalah antara Ialam dan Barat di satu sisi. Di sisi yang
lain juga
adanya pertentangan antara Kapitalisme Barat dengan idiologi Sosialisme yang
saat ini ada di beberapa negara seperti Korea Utara, Kuba, Bolivia dan
negara-negara Amerika Latin. Pada intinya pertentangan antar idiologi memang
ada dari dahulu sampai sekarang ini.
Ditinjau dari definisi
ini, idiologi menunjukkan kelengkapan konsep yang
mencakup akidah dan sistem. Dengan demikian, benturan peradaban hakikatnya
adalah benturan yang terjadi antara sejumlah pemikiran dan atau ideologi yang
berbeda atau bertolak belakang. Dalam konteks peradaban, Islam jelas berbeda
dengan peradaban lain, baik Kapitalisme maupun Sosialisme. Fakta menunjukkan
bahwa masing-masing ideologi memandang yang lain sebagai musuhnya. Di dunia ini ada
tiga idiologi besar, yakni Kapitalisme/ Sekulerisme, Islam, dan Komunisme/
Sosialisme.
Terkait dengan
benturan peradaban sebagaimana dituliskan oleh Zainudin Sardar (1979: 85) bahwa
Sosialisme-Nasionalisme-Kapitalisme -dan lewat kiasan mereka- hampir seluruhnya
dari Modernisme, semuanya bertentangan dengan jiwa Islam. Istilah-istilah
seperti Nasionalisme Islam dan Sosialisme Islam mengandung pertentangan dan
sama sekali tidak masuk akal. Sudah banyak dilakukan usaha untuk menyatukan
ajaran-ajaran sosialis dan nasionalis dengan ajaran Islam. Jamal al Afghani,
Muhamad Abduh, Rasyid Ridha berusaha menggabungkan Islam dengan teknikisme
lewat sarana politik Pan Islamisme. Ziya Gohlap berusaha menghubungkan Pan
Islamisme dengan Nasionalisme Turki dan Modernisme. Reza Pahlevi menggabungkan
Nasionalisme Parsi dengan Syiah. Boumedienne memimpin Aljazair dengen membentuk
negara sosialis–nasionalis Islam. Dan terakhir teori internasional ketiga dari
Kolonel Muammar Khadafi berusaha menyatukan agama, nasionalisme dan sosialisme
- tiga kekuatan yang menggerakan sejarah.
Sebagai
contoh untuk
sejarah di Indonesia kita bisa melihat antara idiologi Islam, Nasionalis/ Kapitalisme
dan juga Komunisme juga mengalami pertantangan pada masa Demokrasi Liberal
sejak tahun 1950-1959 yang kemudian berakhir dengan Dekrit Presiden 1959.
Dilanjutkan oleh Sukarno yang memadukan 3 idiologi tersebut dalam konsep
NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) guna menyatukan perbedaan yang ada. Tapi
usahanya tidak berhasil karena sejatinya memang 3 idiologi tersebut tidak akan
pernah bisa untuk bersatu.
Menjadi ciri khas dari sebuah idiologi adalah adanya
dominasi idiologi satu terhadap idiologi yang lain. Sehingga tidak akan pernah
bisa disatukan. Dalam masa Demokrasi Liberal sangat nampak pertentangan antar
idiologi yang diwujudkan dengan 4 partai politik besar yang memenangi pemilu
1955 yakni Masyumi, NU, PNI dan PKI. Dari keempat partai ini sangat nampak
pembagian idiologi yang jelas. Masyumi dan NU ke Islam, PNI ke Nasionalisme/
Kapitalisme, dan PKI ke Komunisme. Tapi semua pertentangan idiologi tersebut
hilang dan tidak kita rasakan lagi sekarang semenjak adanya kebijakan pada masa
Suharto yang membatasi adanya 3 partai saja yakni PPP/ Partai Persatuan
Pembangunan (Idiologi Islam), Golkar/ Golongan Karya (lebih cenderung pada
nilai Kapitalisme/ Barat walupun ini mungkin tidak akan diakui) dan PDI/ Partai
Demokrasi Indonesia (agak cenderung ke arah Komunisme/ Sosialisme).
Selain itu muncul pula
stigma negatif dengan adanya istilah EKA/ EKI (Ekstrim kanan/ Ekstrim Kiri).
Dimana Ekastrim kanan lebih ditujukan kepada idiologi Islam, sementara Ekstrim
kiri ditujukan kepada idiologi Komunisme/ Sosialisme. Hal inilah yang semakin mendistorsikan
dan mengaburkan
pemahaman akan idiologi. Pada akhirnya hanya idiologi Kapitalismelah yang
berkuasa, disadari atau tidak.
Dari ketiga polar inilah
kemudian semakin mengaburkan pertentangan idiologi yang ada dan berlanjut hingga saat
ini. Paling nampak adalah dalam bidang politik tidak ada lagi partai yang
benar-benar konsekuen untuk memiliki idiologi yang jelas. Kesemuanya lebih
cenderung ke idiologi Kapitalisme dengan cirinya pemahaman Liberalisme,
Pluralisme, Humanisme, Hedonisme dan lain-lain. Meskipun ada beberapa partai
didukung/ didirikan oleh umat Islam tapi belum menggambarkan bahwa idiologi
yang dibawa adalah Islam. Yang nampak bahwa hanya banyak pengurus dan
pendirinya yang beragama Islam sementara model dan sistem kepartaian yang
dianut menganut idiologi Barat. Sehingga sudah sangat sering kita melihat di media
Kompas dibahas bahwa partai-partai politik yang ada saat ini tidak memiliki
dasar idiologi yang kuat. Yang jadi dasar hanyalah model oportunistik (memanfaatkan
kesempatan) sebagai anak dari dari idiologi Barat/ Kapitalisme. Sangat nampak
bahwa partai partai yang ada semata-mata hanya mencari keuntungan sesaat (ekonomi) bukan lagi
memperjuangkan idiologi yang ada. Karena lebih cenderung ke idiologi Barat/
Kapitalisme yang juga terkenal sikap individualismenya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar