Senin, 04 Juni 2012

Pengaruh Ekologi Terhadap Ekspansi Sultan Agung Tahun 1613-1645


Sultan Agung atau Raden Mas Rangsang atau Raden Jatmika naik tahta pada tahun 1613 dalam usia 20 tahun menggantikan kakaknya, Adipati Martapura, yang hanya menjadi Sultan Mataram selama satu hari. Sebenarnya secara teknis Raden Mas Rangsang adalah Sultan ke-empat Kesultanan Mataram, namun secara umum dianggap sebagai Sultan ke-tiga karena kakaknya yang menderita tuna grahita diangkat hanya sebagai pemenuhan janji ayahnya, Panembahan Hanyakrawati kepada istrinya, Ratu Tulungayu.

Dalam sejarah, Sultan Agung adalah raja terbesar Mataram yang mempunyai wilayah kekuasaan yang sangat luas, antara lain meliputi seluruh wilayah pantai utara yang membntang dari Karawang, di sebelah barat sampai Pasuruhan di sebelah timur. Ditambah dengan Mancanegara meliputi Priangan Timur, Banyumas, Madiun, Jipan (sebalah barat daya Surabaya), Jipang (sebelah tenggara Rembang), dan Grobogan. Untuk mempertahankan kekuasaan kerajaan Mataram atas wilayah yang telah ditaklukkan, Sultan Agung mewajibkan penguasa-penguasa daerah (para Adipati) untuk tinggal di kompleks kraton beberap bulan dalam setahun. Kalau penguasa daerah pulang, ia wajib untuk meninggalkan salah seorang anggota keluarga dekatnya sebagai “sandera” di kraton (Dannys Lombard, 1996: 36).
Pemerintahan Sultan Agung yang lamanya 32 tahun itu (1613-1645) berdasarkan gerak strateginya dapat dibagi atas dua bagian yang sama panjangnya, yakni 16 tahun gerak ke arah timur dan 16 tahun ke arah barat. Adapun perincianya sebagai berikut:
·         1613-1625: penaklukan terhadap daerah-daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur yang kemudian diakhiri dengan menyerahnya Kota Surabaya pada 1 Mei 1625
·         1626-1636: serbuan-serbuan ke arah barat untuk menghncurkan kota Batavia, fase ini berkulminasi pada 1628 dan 1629, dan berakhir dengan politik damai dari Gubernur Jenderal Van Diemen (1636)
·         1637-1641: gerakan militer ke Jawa Timur. Fase ini berpuncak pada tahun 1639 dengan menyerahnya Blambangan dan berakhir dengan ancaman dari fihak Belanda kepada Mataram, setelah Malaka direbut oleh Belanda dari tangan bangsa Portugis (1641)
·         1641-1645: gerakan ke arah barat berupa pembentukan kubu-kubu kuat di Jawa Barat dengan mendirikan koloni-koloni pertahanan di Sumedang dan Ukur, juga membuka daerah transmigrasi di daerah Krawang.
Sultan Agung mulai memerintah Mataram tahun 1613. Pada waktu itu Indonesia tidak merupakan kesatuan, tetapi terpecah-pecah atas beberapa daerah yang masing-masing berdiri sendiri, malahan saling bertentangan. Di pulau Jawa saja ada beberapa kerajaan, yaitu Mataram, Banten, Cirebon, Surabaya, dan Giri. Sultan Agung bercita-cita untuk mempersatukan Nusantara dan menguasai perdagangan internasional di Asia Tenggara. Sebagai langkah pertama ke arah tujuan tersebut, lebih dulu ia harus mempersatukan Jawa dan Madura. Oleh sebab itu secara berturut-turut ditaklukkan Wirosobo pada tahun 1615, Lasem tahun 1615, Pasuruhan tahun 1616, Gresik tahun 1618 dan 1622, Tuban tahun 1619, Sukadana di Kalimantan  tahun 1622, dan Surabaya tahun 1625. Kemudian itu juga usaha penaklukan Blambangan pada tahun 1635, malahan juga bermaksud menaklukkan Bali pada tahun 1639 tetapi tidak berhasil. Sementara itu Sultan Agung juga harus memadamkan pemberontakan Pati tahun 1627 (Proyek penelitian dan pencatatan kebudayaan daerah departemen pendidikan dan kebudayaan, 1977:81). Peperangan yang terus menerus dilakukan oleh Mataram itu mengakibatkan nasib yang menyedihkan bagi perdagangan di laut Jawa. Kota-kota pantai yang tidak mau tunduk kepada Mataram dihancurkan, sehingga banyak Saudagar pantai Utara Jawa yang pindah ke Makassar dan Banjarmasin. Hal tersebut berarti matinya perdagangan, termasuk perdagangan rempah-rempah yang melalui laut Jawa.
Selanjutnya, supaya dapat menguasai seluruh Jawa, Sultan Agung harus bergerak ke arah barat, sebab disitu ada kekuatan-kekuatan yang menjadi penghalang bagi tercapainya cita-cita persatuan, yaitu kesultanan Banten dan orang-orang Belanda di Batavia. Sebenarnya kesultanan Banten juga bermusuhan dengan orang-orang Belanda di Batavia, tetapi karena takut pada ancaman dari Mataram, untuk sementara Banten membiarkan saja Batavia. Sementara itu karena Banten menolak ajakan Mataram untuk memukul Batavia secara bersama-sama, hubungan antara Mataram dan Batavia menjadi tegang, akhirya malah berubah menjadi perang secara terbuka. Pada tahun 1628 Batavia diserang oleh tentara Mataram, tetapi Batavia yang dipimpin oleh J.P Coen dapat mempertahankan diri. Pada tahun 1629 Batavia mendapat serbuan keduakalinya dari Mataram. Meskipun Belanda masih dapat memtahankan diri, tetapi konon karena serbuan tersebut J.P Coen mati tertembak (Proyek penelitian dan pencatatan kebudayaan daerah departemen pendidikan dan kebudayaan, 1977: 82).
Adanya gerak ke arah barat dan ke arah timur di dalam strategi Sultan Agung itu disebabkan oleh empat faktor:
1.      Lokasi pusat pemerintahan Mataram ada di Jawa Tengah bagian selatan. Wilayah Mataram dalam arti sempit, yakni induk negara Mataram yang terapit oleh kali Progo dan Opak (sekarang kabupaten Sleman dan Bantul) dan dua benteng alam yang berupa gunung Merapi di sebelh utara dan segara kidul yakni Samudera Hindia, telah membuktikan fungsi strategisnya dalm menghadapi Pajang pada masa berdirinya di akhir abad ke-16. Perlu diperhitungkan pula adanya dua pegunungan kapur yang mengapit dua sungai tersebut diatas, yakni Gunung Kidul dan Menoreh (di Kulon Progo)
2.      Potensi-potensi yang merongrong usaha penyatuanpulau bercokol di ujung barat (Banten dan Batavia) dan diujung timur yaitu Blambangan dan Surabaya.
3.      Gerak ofensif ke satu arah harus memperhitungkan adanya keamanan dari arah yang lain. Jika tak mungkin, dilakukan gerak dua arah secara serentak
4.      Setiap gerak dikontrol oleh situasi musim dan aktivitas pertanian karena Mataram itu suatu negeri agraris (N.Daldjoeni, 1992: 172).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar