Senin, 21 Mei 2012

Benturan Idiologi dan Peradaban


Sebagaimana diketahui, era Perang Dingin yang berlangsung sejak 1946, telah berakhir pada 1989, menyusul runtuhnya Uni Soviet tahun 1990 dan berakhirnya pertentangan Kapitalisme–Sosialisme, yang diikuti dengan lepasnya wilayah-wilayah negara bekas Uni Sovyet seperti Azerbaijan, Kirgistan, Turkmenistan, dan Uzbekistan. Francis Fukuyama, pemikir Amerika keturunan Jepang, menanggapi peristiwa ini dengan menyebutnya sebagai Babak Akhir Sejarah (The End of History). Menurutnya, benturan antara Kapitalisme dan Sosialisme berakhir, dan dunia akan terpola pada semata-mata sistem demokrasi liberal dengan Amerika Serikat sebagai kaptennya. Era ini diproklamirkan oleh George Bush sebagai The New World Order (Tata Dunia Baru) dengan Amerika sebagai single player dan negara lain sebagai buffer-nya.

Tapi pendapat diatas sebenarnya masih perlu dipertegas lagi. Bahwa yang namanya sebuah idiologi tidak akan pernah bisa dihapuskan dengan diruntuhkanya sebuah negara atau dibunuhnya penganut sebuah idiologi. Idiologi atau pemahaman akan tetap ada sampai kapanpun. Meskipun negaranya sudah tidak ada dan pengemban idiologi sudah mati tapi ajaran dan nilai-nilai sebuah idiologi sejatinya tetap ada. Sehingga dari sini kita tahu bahwa The End of History tidak akan pernah terjadi.
Seiring dengan terpolarisasinya berbagai negara ke dalam jaringan sistem Kapitalisme global, muncul sebuah analisis futuristik dari Samuel P. Huntington tentang masa depan pola hubungan internasional yang menunjukkan kecenderungan antagonistik dan diwarnai konflik. Secara lebih tegas dia mengatakan, konflik itu semakin meningkat antara Islam dan masyarakat-masyarakat Asia di satu pihak dan Barat di pihak lain. Lebih jauh lagi, Huntington memprediksikan, tantangan paling serius bagi hegemoni Amerika pada masa mendatang adalah revivalisme Islam dan peradaban Cina (Konfusianis).
Dengan sudut pandang berbeda, Samuel Huntington menyebutkan bahwa faktor benturan peradaban (The Clash Of Civilization) merupakan unsur terpenting dalam pembentukan teori-teori pola hubungan internasional dan model hubungan tata dunia baru setelah runtuhnya Uni Soviet. Dalam bukunya, The Clash of Civilizations and The Remaking of World Order (1996: 14), Huntington menulis bahwa “The central and most dangerous dimension on the emerging global politics would be conflict between groups from differing civilizations”.
Kini perseteruan antara Islam dan Barat semakin meruncing setelah terjadi Tragedi WTC 11 September 2001. Kasus ini telah berhasil dieksploitasi sedemikian rupa oleh AS dan sebagai jalan bagi pemberlakuan UU antiteroris di seluruh dunia. Terorisme yang dimaksudkan oleh Amerika adalah Islam dan tidak ada pengertian lain. Ada permainan stigma Barat untuk membatasi pandangan dan realita  sehingga ketika kata-kata teroris, fundamentalis, ekstremis, dan kelompok radikal diucapkan maka konotasinya tidak jauh dari negara-negara Timur Tengah yang notabene adalah negeri-negeri Islam.
Runtuhnya Uni Soviet menjadi babak akhir dari Perang Dingin (Cold War) yang telah dimulai semenjak tahun 1989-1991. Hal ini memunculkan pemahaman yang luas tentang teori hubungan internasional. Selama periode perang dingin, sebagian besar teori hubungan internasional didasarkan pada persaingan utama antara Amerika Serikat dengan idiologi Kapitalisme dan Uni Soviet dengan idiologi Komunisme. Akan tetapi, era pasca Perang Dingin, terdapat kecenderungan-kecenderungan baru yang harus diperhitungkan dalam penataan dunia baru. Sebagian pakar politik menganggap faktor kepentingan ekonomi akan menjadi asas utama dalam perumusan pola hubungan internasional.
Berakhirnya perang dingin antara peradaban Kapitalisme dan Sosialisme/ Komunisme diatas, banyak yang berpendapat bahwa dengan tingginya tingkat konsentrasi perbedaan antara peradaban Barat dan Islam sebagai dua peradaban yang dominan saat ini. Maka benturan yang paling besar itu akan terjadi antara Barat dan Islam, dan apa yang dituliskan oleh Francis Fukuyama masih belum terbukti.
Sebagaimana dikemukakan oleh Bryan S Turner (2006: 39) “Pengaruh jatuhnya komunisme dan lahirnya postmodernisme baik secara sosial dan kultural tidak diragukan lagi. Semenjak runtuhnya komunisme tidak ada lagi kekuatan politik atau alternatif lain yang signifikan selain Sosialisme dalam berhadapan dengan Barat. Namun jurang dalam sistem dunia ini akan diisi oleh Islam maupun postmodenisme”.
Meksipun ada juga yang berpendapat bahwa juga akan muncul perlawanan dari peradaban lain di dunia ini yakni dari India, Cina dan juga Jepang yang masing-maisng memiliki sejarah peradaban masa lalu yang cukup tua. Tapi kalau kita melihat realitas sekarang maka sebenarnya yang akan muncul adalah perang antar idiologi, bukan semata perang antar peradaban. Karena nyatanya kondisi sekarang bahwa perang yang muncul adalah perang antar idiologi.  Kalaupun ada pertentangan antara Barat (AS) dengan Cina, India atapun Jepang lebih dominan perang dalam bidang perekonomian saja, sementara dalam bidang budaya, politik, pendidikan, memiliki pemahaman yang sama antara Barat dengan 3 peradaban tadi.
Mengapa bisa dikatakan seperti itu, karena pada prinsipnya dalam bidang budaya dan pemahaman hidup di 3 peradaban itu memiliki persamaan dengan Barat. Katakanlah kalau Cina dalam bidang politiknya lebih dikenal dengan model Sosialisme, tapi di sisi lain dalam bidang ekonomi juga sama-sama menggunakan model kapitalisme. Agak berbeda mungkin dengan India dan Jepang yang memng secara politik dan ekonomi juga mirip dengan peradaban Barat, meskipun mereka sebenarnya memiliki jejak sejarah peradaban yang besar. Tapi kalau dilihat lebih jeli lagi dalam bidang budaya ataupun pandangan hidup memiliki kesamaan dengan Barat. Mungkin di India terkenal dengan agama Hindunya ataupun Jepang dengan agama Shintonya, tapi disini tidak nampak pertentangan yang ada. Dan memang semata-mata pertentangan antar Idiologi bukan semata pertentangan agama saja, bukan hanya antara Islam dengan Kristen atau Yahudi. Tapi memiliki dimensi yang lebih luas. Selain itu juga tidak nampak pertentangan dari idiologi Barat dengan idiologi yang ada di India atau Jepang (karena di kedua peradaban tadi tidaka ada idiologi yang nampak).
Akhirnya dari sinilah kita bisa memahami bahwa Islam sendiri selain sebagai agama ritual sebagaimana agama Kristen ataupun Hindu-Budah juga sebagai sebuah idiologi yang berasal dari peradaban Islam. Karena disebut sebagai idiologi sehingga bisa juga desandingkan dengan idiologi lain, yakni Kapitalisme dan Sosialisme/ Komunisme. Karena dalam Islampun diakui atau tidak (karena saat ini tidak ada institusi yang menaunginya) memiliki tata aturan yang komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan manusia. Ada sistem politik, ekonomi, pendidikan, budaya, hukum dan lain-lain yang bersumber dari Islam. Islam sebagai idiologi bisa disandingkan dengan idiologi Kapitalisme dan juga Sosialisme/ Komunisme yang juga sama-sama memiliki pemahaman tentang sistem politik, ekonomi, hukum, pendidikan dan lain-lain. Tapi masalahnya memang saat ini tidak ada institusi Islam (negara) yang menaunginya. Dari semua hal diatas itu yang membedakan Islam dengan agama yang lain.
Salah satu imbas dari keruntuhan dan juga adanya benturan peradaban tersebut adalah adanya penetrasi dari Barat kepada Indonesia. Tapi kalau lebih jeli dilihat sebenarnya pengaruh invasi budaya atau peradaban Barat terhadap Indonesia ini sudah ada sejak adanya imperialisme yang dilakukan oleh Barat. Dalam hal ini diwakili oleh negara Belanda, Portugis dan Inggris sejak abad ke-VII. Akibatnya masih kita rasakan sampai saat ini, baik dalam bidang budaya, ekonomi, politik, pendidikan, hukum dan lainya kebanyakan dipengaruhi oleh Barat. Meskipun di Indonesia sendiri sudah memilki budaya dasar dan juga adanya akulturasi budaya Hindu-Budha dan Islam yang lebih dahulu datang ke Indonesia daripada budaya Barat. Pada akhirnya sampai saat ini kebanyakan tata aturan dan juga perundangan kita masih banyak berkiblat ke Barat. Sementara di sisi lain mayoritas penduduk negeri ini sebenarnya sudah memiliki pemahaman peradaban, yakni Islam. Tapi karena kuatnya dominasi dari peradaban Barat terhadap Indonesia, peradaban atau idiologi Islam kalah bersaing. Disamping ini sebenarnya juga memiliki faktor internal maupun eksternal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar