Nilai,
suatu kata yang sangat berharga bagi sebagian mahasiswa. Sementaraa sebagian
menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa. Nilai menjadi sangat berarti bagi
mereka yang memang mahasiswa kelas studi
oriented (untuk membedakanya dengan mahassiwa aktivis dan mahasiswa
romantis). Meskipun kadang mereka juga tidak pernah memikirkan tentang nilai
tersebut. Asalnya dari mana dan bagaimana implementasinya. Pada kenyataanya
bahwa masing-masing dosen memiliki model penilaian yang berbeda-beda. Meskipun
menghasilkan nilai dengan jenis yang sama, bisa A, A-, B+, B ataupun yang
lainya. Kenyataanya masing masing dosen memiliki standard yang berbeda dalam memberikan
nilai.
Secara
jujur pun kita semua (mahasiswa ) juga mengetahui bahwa ada banyak tipe dosen.
Ada yang disebut dengan dosen kiler yang mengajarnya sangat ketat, penuh
disiplin dan konservativ. Sementara disisi lain ada pula dosen yang sangat
toleran dan mudah memberikan nilai. Ini biasanya juga dari dosen yang jarang
masuk mengajar karena proyek di luar kampus sehingga proses belejar mengajar
tidak maksimal. Dan dosen tersebut menyadari hal itu, dan untuk menebus
kekuranganya dosen akan mudah dalam memberikan nilai. Ada pula yang biasa-biasa
saja dalam kategori standard dalam mengajar kepada mahasiswa. Hal ini tentunya
akan berbeda pula dalam memberikan nilai. Jujur kita akan mengakui kalau dosen
yang kiler akan sulit/ pelit dalam memberikan nilai. Sementara sebaliknya bagi
dosen yang toleran biasanya akan mudah memberikan nilai.
Satu
kasus yang terjadi di salah satu jurusan di Universitas Negeri Malang, dimana
ada satu mata kuliah yang sama dalam satu angkatan pada suatu semester memiliki
dosen yang berbeda. Hal ini akan sangat aneh tentunya. Bagaimana standard nilai
yang digunakan kedua dosen tersebut apakah sama atau tidak?? Tentunya akan berbeda
masing-masing dosen. Bagi kita mungkin akan merasa kasihan terhadap mahasiswa yang
“pas” kedapatan mendapatkan dosen yang kiler, sementara di kelas lain dengan
enaknya mendapatkan dosen yang toleran. Yang implikasinya akan sangat terasa di
hasil penilaian dosen. Padahal dalam satu mata kuliah yang sama. Mungkin masih
untung mahasiswa tidak berpindah/ modif ke kelas lain yang dosenya toleran.
Tapi hal ini patut disayangkan bagaimana hal ini bisa terjadi.
Kiranya sangat
diperlukan adanya standarisasi dosen dalam memberikan nilai. Karena secara tidak
langsung mahasiswa yang paling kena imbasnya. Kasihan bagi mereka yang serasa
aktif di kelas dan disiplin masuknya, hanya karena gara-gara dosen yang kiler
dan salah dalam memilih kelas nilainya jadi turun.
Meskipun
memang kuliah sebenarnya juga bukan mencari nilai angka-angka semata. Tapi
kenyataan inilah yang juga digunakan standard dalam penerimaan karyawan atau
pegawai. Nilai IPK juga masih sangat dipertimbangkan sebagai tolak ukur dalam seleksi administrasi penerimaan karyawan. Bagi mereka
yang nilai IPKnya masih dibawah 2,75 atau 3,00 silahkan berharap untuk tidak
menerima panggilan seleksi selanjutnya. Hal ini tentunya sangat ironi antara di
kampus dan di perusahaan yang mencari karyawan. Karena standar nilai yang
digunakan tidaklah pasti atau tepat.
Belum
lagi disana akan ada perbedaan yang sangat mencolok antara mereka yang berada
di fakultas yang berbasis eksakta semisal Fakultas MIPA atau Teknik dengan yang
berada di fakultas ilmu-ilmu sosial semisal Fakultas Ekonomi, Ilmu Sosial,
ataupun Fakultas Sastra dll. Disini ada karakter yang berbeda dalam dosen memberikan
nilai, yang biasanya bagi dosen- dosen eksakta agak sulit dalam memberikan
nilai, smentara sebaliknya dosen–dosen di ilmu sosial mudah dalam memberikan
nilai. Makanya kemudian sangatlah jarang ditemukan mahasiswa yang camlaude di
fakultas eksakta kecuali mereka yang benar-benar pandai. Berbeda dengan
mahasiswa di ilmu sosial yang kadang lebih mudah untuk mendapatkan nilai
camlaude. Padahal dalam dunia kerja, bagi mereka yang mempunyai IPK lebihlah
yang didahulukan untuk mendapatkan pekerjaan.
Mungkin
lebih baiknya dilakukan standarisadasi/ penyamaan dalam penilaian semua dosen.
Bisa konservativ semua atau toleran semua, meski hal ini juga tidaklah mudah
tergantung dari psikologis dosen. Meski mungkin hal ini adalah sesuatu yang
mustahil dilakukan tapi paling tidak harus ada usaha dari pihak kampus ataupun
dosen untuk mengatasi hal tersebut. Kasihanlah mahasiswa yang menjadi korban.
Indosnesia yang sistem pendidikanya masih feodalistik yang memisahkan jurang antara
mahasiswa dan dosen harus segera diganti dengan model pendidikan yang
patnership yang menyetarakan antara kedudukan dosen dan mahasiswa. Bahwa dosen
adalah mitra kerjasama yang efektif bagi mahasiswa untuk mengembangkan ilmunya,
bukan semacam diktator yang memaksa mahasiswa untuk mengikuti kemauan dosen.
Dan bahwa tidak selamanya dosen selalu
benar dalam memberikan ilmunya dan tidak selamanya pula mahasiswa selalu salah
dalam mengutarakan pendapat. Karena ini adalah di tingkat pendidikan tinggi
yang mahasiswa selalu diajak berfikir kritis bukan lewat pendoktrinan seperti
halnya di sekolah-sekolah dasar. Mahasiswa juga manusia dan dosen juga manusia
yang mempunyai kekurangan serta kelebihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar