Selasa, 01 Mei 2012

Diaektika penilaian dosen: Obyektif atau subyektifkah????


Nilai, suatu kata yang sangat berharga bagi sebagian mahasiswa. Sementaraa sebagian menganggapnya sebagai suatu hal yang biasa. Nilai menjadi sangat berarti bagi mereka yang memang mahasiswa kelas studi oriented (untuk membedakanya dengan mahassiwa aktivis dan mahasiswa romantis). Meskipun kadang mereka juga tidak pernah memikirkan tentang nilai tersebut. Asalnya dari mana dan bagaimana implementasinya. Pada kenyataanya bahwa masing-masing dosen memiliki model penilaian yang berbeda-beda. Meskipun menghasilkan nilai dengan jenis yang sama, bisa A, A-, B+, B ataupun yang lainya. Kenyataanya masing masing dosen memiliki standard yang berbeda dalam memberikan nilai.
Secara jujur pun kita semua (mahasiswa ) juga mengetahui bahwa ada banyak tipe dosen. Ada yang disebut dengan dosen kiler yang mengajarnya sangat ketat, penuh disiplin dan konservativ. Sementara disisi lain ada pula dosen yang sangat toleran dan mudah memberikan nilai. Ini biasanya juga dari dosen yang jarang masuk mengajar karena proyek di luar kampus sehingga proses belejar mengajar tidak maksimal. Dan dosen tersebut menyadari hal itu, dan untuk menebus kekuranganya dosen akan mudah dalam memberikan nilai. Ada pula yang biasa-biasa saja dalam kategori standard dalam mengajar kepada mahasiswa. Hal ini tentunya akan berbeda pula dalam memberikan nilai. Jujur kita akan mengakui kalau dosen yang kiler akan sulit/ pelit dalam memberikan nilai. Sementara sebaliknya bagi dosen yang toleran biasanya akan mudah memberikan nilai.
Satu kasus yang terjadi di salah satu jurusan di Universitas Negeri Malang, dimana ada satu mata kuliah yang sama dalam satu angkatan pada suatu semester memiliki dosen yang berbeda. Hal ini akan sangat aneh tentunya. Bagaimana standard nilai yang digunakan kedua dosen tersebut apakah sama atau tidak?? Tentunya akan berbeda masing-masing dosen. Bagi kita mungkin akan merasa kasihan terhadap mahasiswa yang “pas” kedapatan mendapatkan dosen yang kiler, sementara di kelas lain dengan enaknya mendapatkan dosen yang toleran. Yang implikasinya akan sangat terasa di hasil penilaian dosen. Padahal dalam satu mata kuliah yang sama. Mungkin masih untung mahasiswa tidak berpindah/ modif ke kelas lain yang dosenya toleran. Tapi hal ini patut disayangkan bagaimana hal ini bisa terjadi.
Kiranya sangat diperlukan adanya standarisasi dosen dalam memberikan nilai. Karena secara tidak langsung mahasiswa yang paling kena imbasnya. Kasihan bagi mereka yang serasa aktif di kelas dan disiplin masuknya, hanya karena gara-gara dosen yang kiler dan salah dalam memilih kelas nilainya jadi turun.
Meskipun memang kuliah sebenarnya juga bukan mencari nilai angka-angka semata. Tapi kenyataan inilah yang juga digunakan standard dalam penerimaan karyawan atau pegawai. Nilai IPK juga masih sangat dipertimbangkan sebagai tolak ukur dalam seleksi  administrasi penerimaan karyawan. Bagi mereka yang nilai IPKnya masih dibawah 2,75 atau 3,00 silahkan berharap untuk tidak menerima panggilan seleksi selanjutnya. Hal ini tentunya sangat ironi antara di kampus dan di perusahaan yang mencari karyawan. Karena standar nilai yang digunakan tidaklah pasti atau tepat.
Belum lagi disana akan ada perbedaan yang sangat mencolok antara mereka yang berada di fakultas yang berbasis eksakta semisal Fakultas MIPA atau Teknik dengan yang berada di fakultas ilmu-ilmu sosial semisal Fakultas Ekonomi, Ilmu Sosial, ataupun Fakultas Sastra dll. Disini ada karakter yang berbeda dalam dosen memberikan nilai, yang biasanya bagi dosen- dosen eksakta agak sulit dalam memberikan nilai, smentara sebaliknya dosen–dosen di ilmu sosial mudah dalam memberikan nilai. Makanya kemudian sangatlah jarang ditemukan mahasiswa yang camlaude di fakultas eksakta kecuali mereka yang benar-benar pandai. Berbeda dengan mahasiswa di ilmu sosial yang kadang lebih mudah untuk mendapatkan nilai camlaude. Padahal dalam dunia kerja, bagi mereka yang mempunyai IPK lebihlah yang didahulukan untuk mendapatkan pekerjaan.
Mungkin lebih baiknya dilakukan standarisadasi/ penyamaan dalam penilaian semua dosen. Bisa konservativ semua atau toleran semua, meski hal ini juga tidaklah mudah tergantung dari psikologis dosen. Meski mungkin hal ini adalah sesuatu yang mustahil dilakukan tapi paling tidak harus ada usaha dari pihak kampus ataupun dosen untuk mengatasi hal tersebut. Kasihanlah mahasiswa yang menjadi korban. Indosnesia yang sistem pendidikanya masih feodalistik yang memisahkan jurang antara mahasiswa dan dosen harus segera diganti dengan model pendidikan yang patnership yang menyetarakan antara kedudukan dosen dan mahasiswa. Bahwa dosen adalah mitra kerjasama yang efektif bagi mahasiswa untuk mengembangkan ilmunya, bukan semacam diktator yang memaksa mahasiswa untuk mengikuti kemauan dosen. Dan  bahwa tidak selamanya dosen selalu benar dalam memberikan ilmunya dan tidak selamanya pula mahasiswa selalu salah dalam mengutarakan pendapat. Karena ini adalah di tingkat pendidikan tinggi yang mahasiswa selalu diajak berfikir kritis bukan lewat pendoktrinan seperti halnya di sekolah-sekolah dasar. Mahasiswa juga manusia dan dosen juga manusia yang mempunyai kekurangan serta kelebihan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar