Senin, 21 Mei 2012

Budaya, Peradaban dan Ideologi


Berbagai fakta di dunia menunjukkan bahwa perumusan teori hubungan internasional memang tidak bisa hanya didasarkan pada faktor ekonomi sebagaimana adanya Imperialisme/ Merkantilisme semata, tetapi juga menyangkut masalah budaya, agama, dan ideologi. Oleh karena itu berkaitan dengan tema benturan dan pentrasi kebudayaan, diperlukan adanya definisi dan pemahaman tentang budaya, peradaban, dan ideologi serta keterkaitan antar ketiganya. Dengan begitu, titik-titik yang akan mengalami benturan atau penetrasi akan mudah dibaca.
Terkait dengan kebudayaan, Clifford Geertz (1966: 89) mendefinisikan kebudayaan (culture) sebagai sebuah pola makna-makna (a pattern of meanings) atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran mereka melalui simbol-simbol itu. Melaui simbol, ide, dan adat-istiadat, Geertz menemukan pengaruh agama di setiap celah dan sudut kehidupan masyarakat Jawa. Dalam bukunya tersebut, Geertz menyebutkan bahwa agama merupakan satu sistem simbol yang bertujuan untuk menciptakan perasaan dan motivasi yang kuat, mudah menyebar, dan tidak mudah hilang dalam diri seseorang. Hal tersebut pada akhirnya akan menciptakan perasaan dan motivasi yang terlihat sebagai suatu realitas yang unik. Analisis dan teori Geertz lebih menekankan pada aspek pengaruh agama pada munculnya simbol-simbol (bentuk pakaian, model rumah, jenis peralatan, dll) sebagai sebuah budaya.
Menurut Edward B. Tylor (dalam Abdullah Fajar, 1991: 2) mengartikan kebudayaan sebagai keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, adat kemampuan, serta kebiasaan lain yang diperoleh manusia sebagai seorang anggota masyarakat.
Dalam Wikiipedia, budaya atau kebudayaan diartikan berasal dari bahasa Sanskerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai "kultur" dalam bahasa Indonesia. (http://id.wikipedia.org/wiki/Budaya#Definisi_Budaya diakses pada 6 mei 2012 pukul 08.00 WIB)
Menurut Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat (2006: 25) Budaya adalah suatu pola hidup menyeluruh. budaya bersifat kompleks, abstrak, dan luas. Banyak aspek budaya turut menentukan perilaku komunikatif. Unsur-unsur sosio-budaya ini tersebar dan meliputi banyak kegiatan sosial manusia.
Dari beberap definisi diatas dapat diartikan bahwa budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi. Budaya terbentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Bahasa, sebagaimana juga budaya, merupakan bagian tak terpisahkan dari diri manusia sehingga banyak orang cenderung menganggapnya diwariskan secara genetis. Ketika seseorang berusaha berkomunikasi dengan orang-orang yang berbeda budaya dan menyesuaikan perbedaan-perbedaannya, membuktikan bahwa budaya itu dipelajari.
Menurut Caeter V Good (dalam Abdullah Fajar, 1991: 1) peradaban harus dipahami sebagai keadaan kebudayaan. Secara lengkap peradaban dapat diartikan sebagai keadaan kebudayaan dari suatu kelompok sosial yang menggambarkan tingkat pencapaian tertentu dalam bidang-bidang kesenian, industri, ilmu pengetahuan, pemerintahan, moral dan wawasan pemikiran.
Sementara itu ada yang mengartikan bahwa peradaban (hadharah) adalah sekumpulan konsep (mafahim) tentang kehidupan. Peradaban bisa berupa peradaban spiritual ilahiyah (diniyah ilahiyyah) atau peradaban buatan manusia (wadl’iyyah basyariyyah). Peradaban spiritual ilahiyah lahir dari sebuah aqidah (dasar ideologi), seperti peradaban Islam yang lahir dari Aqidah Islamiyah. Sedangkan peradaban buatan manusia bisa lahir dari sebuah aqidah, seperti peradaban kapitalisme Barat, yang merupakan sekumpulan konsep tentang kehidupan yang muncul dari aqidah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan). Peradaban buatan manusia bisa pula tidak lahir dari sebuah aqidah, semisal peradaban Shinto, Yunani, Babilonia, dan Mesir Kuno. Peradaban-peradaban tersebut sekedar merupakan sekumpulan konsep yang disepakati oleh satu atau beberapa bangsa. Jadi peradaban ini adalah sebuah sebuah peradaban yang bersifat kebangsaan atau buatan manusia (Hizbut Tahrir 2004: 7).
Menurut M. Husain Abdullah (2002: 149), peradaban (Inggris: civilization) dalam kosakata Arab disebut hadhârah, sedangkan kebudayaan (Inggris: culture) disebut tsaqâfah. Hadhârah secara bahasa berasal dari al-hadhar (perkotaan) sebagai lawan dari kata al-badwu (pedalaman); yang dimaksud oleh kata tersebut adalah metode kehidupan (tharîqah al-hayâh). Secara istilah, hadhârah (peradaban) adalah sekumpulan pemahaman atau persepsi tentang kehidupan (majmû‘ al-mafâhîm ‘an al-hayâh). Sedangkan tsaqâfah (budaya) adalah sekumpulan pengetahuan dan pemikiran yang mempengaruhi akal dan sikap seseorang terhadap fakta (benda maupun perbuatan), seperti masalah hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, sejarah, dan lain sebagainya. Dengan demikian, tsaqâfah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari hadhârah, karena  tsaqâfah merupakan pemikiran-pemikiran yang menjelaskan sudut pandang dalam kehidupan. Pemikiran-pemikiran tersebut nantinya akan menjadi sebuah mafâhîm (persepsi) yang akan mengantarkan pada terciptanya sebuah peradaban.
Di kalangan Barat, peradaban diistilahkan dengan civilization, di ambil dari kata civilis, yang berarti memiliki kewarganegaraan. Istilah ini pertama kali digunakan dalam bahasa Prancis dan Inggris pada akhir Abad XVIII untuk menggambarkan proses progresif perkembangan manusia; sebuah gerakan yang menuntut perbaikan, keteraturan serta penghapusan barbarisme dan kekejaman. Di balik pemunculan pemahaman ini terletak spirit pencerahan Eropa -Renaissance- dan rasa percaya diri  terhadap karakter progresif era modern.
Istilah ini kemudian dipindahkan ke dalam bahasa Arab dengan menggunakan dua ungkapan, yaitu hadhârah dan madaniyah. Namun demikian, penggunaan kedua istilah ini masih menimbulkan persoalan baru di kalangan penggunanya. Oleh karena itu, An-Nabhani kemudian menspesifikasikan penggunaan kedua istilah tersebut ke dalam bukunya Nizhâm al-Islâm. Menurut An-Nabhani, hadhârah adalah sekumpulan persepsi (yang dimanifestsikan dalam perilaku) tentang kehidupan. Adapun madaniyah adalah bentuk-bentuk fisik dari benda-benda yang terindera yang digunakan dalam berbagai aspek kehidupan.
Dari kedua definisi diatas dapat diambil kesimpulan bahwa peradaban adalah sekumpulan konsep (mafahim) tentang kehidupan yang menggambarkan tingkat pencapaian tertentu dalam bidang-bidang kesenian, industri, ilmu pengetahuan, pemerintahan, moral dan wawasan pemikiran yang dicapai oleh suatu bangsa atau masyarakt yang mendiami suatu wilayah tertentu.
Berdasarkan pemaparan di atas, istilah peradaban dan budaya mengacu pada persoalan metode kehidupan tertentu, yaitu suatu gaya hidup yang khas dalam kehidupan masyarakat. Jika ditinjau lebih mendalam, gaya hidup yang khas ini haruslah lahir dari pandangan hidup yang khas pula, yaitu ideologi. Menurut Taqiyuddin an-Nabhani (2006: 43), ideologi merupakan ‘aqîdah ‘aqliyyah (akidah yang lahir melalui proses berpikir) yang melahirkan peraturan hidup secara menyeluruh. Peraturan yang lahir dari akidah tersebut berfungsi untuk memecahkan dan mengatasi berbagai problem kehidupan manusia. Jadi, yang dimaksud dengan tsaqâfah (budaya) Islam adalah pemikiran-pemikiran tentang metode dan gaya hidup yang menyangkut seluruh aspek kehidupan, seperti ekonomi, politik, sosial, tata negara, hukum, dan sebagainya yang lahir dari ideologi Islam. Sebaliknya, tsaqâfah Barat adalah pemikiran-pemikiran tentang metode hidup yang mencakup ekonomi, politik, sosial, tatanegara, tata hukum, dan sebagainya yang lahir dari akidah (ideologi) Barat, yaitu Kapitalisme-Sekularisme.
Selian itu idiologi menurut A.S Hornby (dalam Faisal Ismail, 1999: 10) adalah seperangkat gagasan yang membentuk landasan teori ekonomi dan politik atau yang dipegangi oleh seseorang atau kelompok tertentu.
Idiologi politik menjadi penggerak dinamis yang utama dalam kehidupan organisasi atau lembaga politik serta dalam kehidupan politik suatu negara atau bangsa, karena idiologi berfungsi menyatukan rakyat dalam organisasi politik untuk melakukan tindakan politik secara efektif. Lebih dari itu tujuan idiologi adalah untuk membangkitkan perasaan, mendorong munculnya tindakan, sedangkan kekuatan idiologi terletak pada kapasitasnya dalam menangkap dan menggerakkan imajinasi manusia serta melepaskan negeri-negeri manusia (Reo M Chridtenson dalam Faisal Ismail, 1999: 11).
Muhammad Husein Abdullah kemudian membagi madaniyah ke dalam dua kategori, yaitu:
1.      Yang berhubungan dengan hadhârah, yaitu yang lahir dari suatu sudut pandang tertentu. Misal, rumah tidak terlepas dari hadhârah, karena seorang Muslim akan membangun rumah dengan model yang dapat menjaga aurat penghuninya, sementara orang sosialis atau kapitalis tidak akan memperhatikan hal-hal itu.
2.      Yang tidak berhubungan dengan hadhârah, yaitu hasil dari ilmu pengetahuan dan industri seperti alat-alat laboratorim dan furniture. Semua ini ‘netral’ dan bersifat universal (Muhammad Husain Abdullah, 2002: 150).
Walhasil, peradaban (hadhârah) berkaitan dengan pandangan hidup (world view) atau yang oleh an-Nabhani diistilahkan dengan mabda’ (ideologi), yang didefinisikan sebagai: akidah yang lahir dari proses berpikir yang di atasnya dibangun system.
Dari sini dapat ditarik kesimpulan baahwa idiologi adalah seperangkat gagasan dan pandangan hidup dalam berbagai aspek kehidupan mansuia yang menjadi landasan manusia untuk bertindak dan berperilaku yang terkait dengan nilai-nilai serta tatanan hukum yang berkaitan denganya.
Benturan peradaban yang dirumuskan oleh Samuel Huntington mencakup benturan pemikiran dan benturan tata nilai pemikiran-pemikiran antara tata nilai Islam dengan pemikiran-pemikiran dan tata nilai Barat. Nilai-nilai itulah yang akan mempengaruhi pola penataan masyarakat di dunia, termasuk penataan hubungan antarnegara dan antarbangsa di dunia internasional. Dan hal ini pulalah yang mendasari adanya penetrasi peradaban Barat terhadap Indonesia sebagai salah satu negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam (yang seharusnya memiliki pemahaman yang lengkap tentang peradaban dan idiologi Islam).
Maka akan semakin nampaklah bahwa pertantangan atau clash civilizatioan antar peradaban adalah antara Ialam dan Barat di satu sisi. Di sisi yang lain juga adanya pertentangan antara Kapitalisme Barat dengan idiologi Sosialisme yang saat ini ada di beberapa negara seperti Korea Utara, Kuba, Bolivia dan negara-negara Amerika Latin. Pada intinya pertentangan antar idiologi memang ada dari dahulu sampai sekarang ini.
Ditinjau dari definisi ini, idiologi menunjukkan kelengkapan konsep yang mencakup akidah dan sistem. Dengan demikian, benturan peradaban hakikatnya adalah benturan yang terjadi antara sejumlah pemikiran dan atau ideologi yang berbeda atau bertolak belakang. Dalam konteks peradaban, Islam jelas berbeda dengan peradaban lain, baik Kapitalisme maupun Sosialisme. Fakta menunjukkan bahwa masing-masing ideologi memandang yang lain sebagai musuhnya. Di dunia ini ada tiga idiologi besar, yakni Kapitalisme/ Sekulerisme, Islam, dan Komunisme/ Sosialisme.
Terkait dengan benturan peradaban sebagaimana dituliskan oleh Zainudin Sardar (1979: 85) bahwa Sosialisme-Nasionalisme-Kapitalisme -dan lewat kiasan mereka- hampir seluruhnya dari Modernisme, semuanya bertentangan dengan jiwa Islam. Istilah-istilah seperti Nasionalisme Islam dan Sosialisme Islam mengandung pertentangan dan sama sekali tidak masuk akal. Sudah banyak dilakukan usaha untuk menyatukan ajaran-ajaran sosialis dan nasionalis dengan ajaran Islam. Jamal al Afghani, Muhamad Abduh, Rasyid Ridha berusaha menggabungkan Islam dengan teknikisme lewat sarana politik Pan Islamisme. Ziya Gohlap berusaha menghubungkan Pan Islamisme dengan Nasionalisme Turki dan Modernisme. Reza Pahlevi menggabungkan Nasionalisme Parsi dengan Syiah. Boumedienne memimpin Aljazair dengen membentuk negara sosialis–nasionalis Islam. Dan terakhir teori internasional ketiga dari Kolonel Muammar Khadafi berusaha menyatukan agama, nasionalisme dan sosialisme - tiga kekuatan yang menggerakan sejarah.
Sebagai contoh untuk sejarah di Indonesia kita bisa melihat antara idiologi Islam, Nasionalis/ Kapitalisme dan juga Komunisme juga mengalami pertantangan pada masa Demokrasi Liberal sejak tahun 1950-1959 yang kemudian berakhir dengan Dekrit Presiden 1959. Dilanjutkan oleh Sukarno yang memadukan 3 idiologi tersebut dalam konsep NASAKOM (Nasionalis, Agama, Komunis) guna menyatukan perbedaan yang ada. Tapi usahanya tidak berhasil karena sejatinya memang 3 idiologi tersebut tidak akan pernah bisa untuk bersatu.
Menjadi ciri khas dari sebuah idiologi adalah adanya dominasi idiologi satu terhadap idiologi yang lain. Sehingga tidak akan pernah bisa disatukan. Dalam masa Demokrasi Liberal sangat nampak pertentangan antar idiologi yang diwujudkan dengan 4 partai politik besar yang memenangi pemilu 1955 yakni Masyumi, NU, PNI dan PKI. Dari keempat partai ini sangat nampak pembagian idiologi yang jelas. Masyumi dan NU ke Islam, PNI ke Nasionalisme/ Kapitalisme, dan PKI ke Komunisme. Tapi semua pertentangan idiologi tersebut hilang dan tidak kita rasakan lagi sekarang semenjak adanya kebijakan pada masa Suharto yang membatasi adanya 3 partai saja yakni PPP/ Partai Persatuan Pembangunan (Idiologi Islam), Golkar/ Golongan Karya (lebih cenderung pada nilai Kapitalisme/ Barat walupun ini mungkin tidak akan diakui) dan PDI/ Partai Demokrasi Indonesia (agak cenderung ke arah Komunisme/ Sosialisme).
Selain itu muncul pula stigma negatif dengan adanya istilah EKA/ EKI (Ekstrim kanan/ Ekstrim Kiri). Dimana Ekastrim kanan lebih ditujukan kepada idiologi Islam, sementara Ekstrim kiri ditujukan kepada idiologi Komunisme/ Sosialisme. Hal inilah yang semakin mendistorsikan dan mengaburkan pemahaman akan idiologi. Pada akhirnya hanya idiologi Kapitalismelah yang berkuasa, disadari atau tidak.
Dari ketiga polar inilah kemudian semakin mengaburkan pertentangan idiologi yang ada dan berlanjut hingga saat ini. Paling nampak adalah dalam bidang politik tidak ada lagi partai yang benar-benar konsekuen untuk memiliki idiologi yang jelas. Kesemuanya lebih cenderung ke idiologi Kapitalisme dengan cirinya pemahaman Liberalisme, Pluralisme, Humanisme, Hedonisme dan lain-lain. Meskipun ada beberapa partai didukung/ didirikan oleh umat Islam tapi belum menggambarkan bahwa idiologi yang dibawa adalah Islam. Yang nampak bahwa hanya banyak pengurus dan pendirinya yang beragama Islam sementara model dan sistem kepartaian yang dianut menganut idiologi Barat. Sehingga sudah sangat sering kita melihat di media Kompas dibahas bahwa partai-partai politik yang ada saat ini tidak memiliki dasar idiologi yang kuat. Yang jadi dasar hanyalah model oportunistik (memanfaatkan kesempatan) sebagai anak dari dari idiologi Barat/ Kapitalisme. Sangat nampak bahwa partai partai yang ada semata-mata hanya mencari keuntungan sesaat (ekonomi) bukan lagi memperjuangkan idiologi yang ada. Karena lebih cenderung ke idiologi Barat/ Kapitalisme yang juga terkenal sikap individualismenya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar