Senin, 21 Mei 2012

Serangan Budaya Barat ke Dunia Islam


Serangan budaya barat kepada Islam tidak bisa dilepaskan dai sejarah Perang Salib dan juga perkembangan pemikiran di Eropa. Begitu juga dengan adanya Renaisance dan Reformasi gereja. Baik Renaisance maupun Reformasi gereja merupakan gerakan yang berakar dalam Zaman Tengah. Reormasi bertujuan untuk menyehatkan kembali kepercayaan yang benar, dengan meneliti kembali kitab Injil. Sementara Renaisance bertujuan untuk menghidupkan kembali kebudayaan Romawi dan Yunani, supaya orang-oang Eropa dapat mencerminkan diri pada kehidupan itu dan meletakkan ideal-ideal kebudayaan Yunani-Romawi sebagai tujuan hidup manusia Eropa sejati.

Selain itu ada pula revolusi Ilmu pengetahuan yang terjadi antara 1500-1700 dengan konseptualisasi-konseptualisasi Copernicus, Keppler,  dan Galileo sebagai dasar Eropa modern. Ia mengajar orang Eropa untuk merombk cara berfikirnya dan membawa suatu perubahan yang mendasar dalam hal penggambaran manusia Eropa tentang alam semesta. Sebelumnya orang Eropa memendang alam semesta sebagai sesuatu yang digerakkan dari waktu ke waktu oleh suatu keajaiban, yang senantiasa berbeda sifatnya. Revolusi ilmu pengetahuan mengubah pandangan ini dengan mengetengahkan bahwa setiap kejadian di alam semesta terjadi sesuai dengan suatu hukum dengan keteraturan. Empat revolusi lainya yang turut membuka pada masa modern Eropa adalah: Revolusi Industri, Revolusi Prancis, Revolusi Filsafat diprakarsai Imanuel Kant dan Revolusi Romantik. Revolusi Industri merupakan peralihan dari dominasi modal komersial atas modal industrial ke dominasi modal industrial atas modal komersial yang kemudian memunculkan Imperialisme Eropa ke berbagai negara. Revolusi Prancis merupakan revolusi yang memperjuangkan kedaulatan rakyat, penentuan nasib dan persamaan hak serta Rasionalisme di Prancis yang kemudian mneyebar di Eropa. Revolusi Filsafat Kant mengumandangkan bahwa otak manusia mengandung prinsip-prinsip organisatoris yang memaksakan keteraturan atas pengalaman. Revolusi Romantik merupakan reaksi terhadap rasionalisme, materialisme mekanik, klasisme, terhadap semua unsur yang dominan dari Aufklarung, terhadap universalisme dan formalisme. Yang dipaksakan aliran itu. Yang kemudian nampak dalam perbedan antara Eropa Barat dan Eropa Tengah (C.P.F Luhulima, 1992: 25).
Superioritas geopolitik Barat telah membelah dunia menjadi dua bagian, yaitu The West dan The Rest (Barat dan bukan Barat). Mereka menyadari bahwa Barat telah memiliki metode kehidupan yang khas yang berbeda dengan metode kehidupan selain mereka. Bangsa-bangsa yang mengambil metode Barat sebagai landasan kehidupannya akan dimasukkan sebagai bagian dari komunitas mereka, sedangkan yang menolak akan disebut sebagai The Rest. Jadi, istilah Barat tidak selalu mengacu pada posisi letak geografis di bumi, tetapi lebih mengacu pada sistem dan metode kehidupan yang dipakai, yaitu ideologi. Sehingga bisa saja kemudian negara di Asia yang notabene bukan di wilayah Barat tapi memiliki idiologi Barat. Sebagai contoh adalah Australia, Cina, Jepang dan lain-lain, sebagaimana dijabarkan diatas.
Jerat-jerat pemikiran dan budaya yang ditebar Barat sudah mengalami modifikasi yang jauh lebih efektif dan membahayakan. Pesan-pesannya kental sekali dengan makna perjuangan Kapitalisme yang mengusung nilai Sekularisme. Sebab, Sekularisme merupakan dasar bagi semua penyelesaian yang ditetapkan oleh Kapitalisme, sekaligus sebagai asas bagi setiap pemikiran yang dicetuskannya.
Sekularisme merupakan ideologi yang melandasi budaya Barat. Kelahiran ideologi ini bermula pada saat kaisar dan raja-raja di Eropa dan Rusia menjadikan agama sebagai alat untuk memeras, menganiaya, dan menghisap darah rakyat. Para pemuka agama dijadikan sebagai perisai untuk mencapai keinginan mereka. Lalu timbullah pergolakan sengit yang kemudian membawa kebangkitan bagi para filosof dan cendekiawan. Sebagian mereka mengingkari adanya agama secara mutlak (ateis); sebagian  lainnya mengakui adanya agama, tetapi menyerukan agar dipisahkan dari kehidupan, khususnya dalam mengatur negara. Berdasarkan ini, Barat kemudian menjadikan sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, sebagai ideologi mereka.
Paradigma Sekularisme yang lahir dari sebuah proses kompromi telah memberikan suatu anggapan bahwa manusia adalah tuan bagi dirinya sendiri. Agar manusia dapat menjadi tuan bagi dirinya sendiri, manusia, menurut paradigma Sekularisme, harus dijauhkan dari segala pengawasan pihak lain (agama/Tuhan). Hal ini tidak akan bisa terealisasi kecuali jika manusia diberikan kebebasan dan dilepaskan dari segala ikatan. Dari sini, lahirlah kemudian ide kebebasan (Liberalisme) yang selanjutnya menjadi sesuatu yang inheren dalam ideologi Kapitalisme. Dari ide kebebasan ini, pada gilirannya, lahirlah konsep Demokrasi; sebuah konsep yang menghendaki manusia steril dari intervensi pengaturan pihak lain (agama/ Tuhan), sekaligus menghendaki agar manusia diberikan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri.
Kaum sekularis selalu menganggap bahwa kebahagiaan manusia terletak pada keberhasilannya memperoleh sebanyak mungkin kesenangan dan kelezatan duniawi. Wajar jika kemudian kemaslahatan (azaz manfaat) merupakan tujuan utama dari setiap perbuatan yang dilakukannya. Karena itu,  muncullah kebiasaan buruk dalam mengukur sebuah nilai kebahagiaan. Bagi mereka yang terhipnotis dengan paham hedonisme, kenikmatan yang bersifat jasadi dan materi adalah tujuannya; mereka memuja kesenangan duniawi semata. Saudara kembar hedonisme adalah permissivisme. Budaya serba-boleh ini memang turunan dari sekularisme. Setiap orang berhak untuk melakukan apapun yang disukainya; orang lain dilarang keras untuk mengusik jalan hidupnya. Tentu saja ini berbahaya karena melemahkan daya kontrol individu dan masyarakat. Inilah gambaran real sebuah negara sekular.
Dalam budaya Barat, agama hanya berfungsi sebagai urusan individu dengan Tuhan, tidak bisa dimasukkan dalam institusi negara untuk mengatur ruang publik dan sosial. Peran agama dimarjinalkan dari sektor publik. Berdasarkan pemikiran Barat, hukum dan perundang-undangan di tingkat negara diserahkan kepada wakil-wakil rakyat untuk merumuskannya dengan cara mengadopsi kehendak mayoritas rakyat. Dengan begitu, hukum dan undang-undang yang berlaku mencerminkan hasil kompromi dari berbagai akumulasi keinginan dan kehendak rakyat. Sumber hukum publik dalam pandangan pemikiran Barat adalah akal manusia, yaitu para anggota parlemen yang mengkompromikan berbagai kehendak rakyat tersebut. Untuk mencapai tujuan itu, digagaslah teori-teori tentang kebebasan sebagai perwujudan dari perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Negara akan menjamin kebebasan berperilaku tersebut selama tidak mengganggu kepentingan publik. Seorang wanita bisa melakukan pornografi ataupun pornoaksi selama hal itu tidak merugikan publik, apalagi bisa menghibur. Negara juga menjamin kebebasan berpendapat, yang salah satu wujudnya adalah penetapan hukum dan perundang-undangan oleh parlemen berdasarkan pendapat mayoritas. Penetapan hukum dengan  mempertimbangkan agama (Islam) akan dianggap sebagai sikap sektarian yang mengancam demokrasi dan hak asasi manusia. Dan hal inilah yang sangat nampak dalam sistem perpolitikan dan kenegaraan di Indonesia dimana sistem yang ada adalah berasal dari Barat.
Konsep dasar ideologi Barat yang memisahkan agama dari kehidupan tersebut bertolak belakang dengan ideologi Islam. Perbedaan inilah yang bisa menjadi alasan mengapa Islam dan Barat akan mengalami benturan dalam membangun peradaban dunia. Wacana tentang ‘Islam Kultural’ yang dihembuskan oleh Barat sebenarnya ditujukan untuk mengakhiri benturan itu dengan kemenangan di pihak Barat. Istilah kultural dalam wacana ini sangat dekat dengan konsep kultural/budaya yang dikemukakan oleh Geertz. Karena itu, apabila konsep Islam kultural diterima oleh umat Muslim, akan terjadi pereduksian terhadap Islam. Islam hanya dipahami sebagai agama ritual atau ibadah individual semata, bukan lagi secara kompehensif  bahwa Islam juga mengatur masalah politik, ekonomi, hukum dan lain lain.
Wacana tersebut pada dasarnya merupakan konsep yang berusaha mendudukkan Islam hanya sebatas persoalan di ruang privat (ibadah dan akhlak), tidak memasuki ruang publik yaitu negara. Artinya, bahwa Islam tidak perlu dijadikan sebagai asas bagi negara untuk mengatur wilayah publik. Jadi, secara umum, pemikiran Barat tidak akan mengalami benturan dengan Islam kultural di atas. Benturan hanya akan terjadi dengan Islam yang diposisikan sebagai ideologi umat Muslim, yaitu Islam yang dijadikan sebagai asas hukum dan perundang-undangan dalam penataan kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara (politik dalam negeri), juga sebagai asas bagi pola hubungan dengan negara-negara dan bangsa-bangsa di dunia (politik luar negeri). 
Pada prinsipnya bukanlah mengkompromikan pemikiran Islam dengan pemikiran Barat, karena memang dari asasnya sudah berbeda. Perbedaan pada sisi asas ini, yaitu antara ideologi Islam dengan ideologi Kapitalisme, akan menyebabkan perbedaan pada seluruh pemikiran dan ajaran yang lahir dari ideologi tersebut. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar